Selasa, 13 Maret 2012

ilmu kalam

MAKALAH 
KHAWARIJ


Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi tugas terstruktur Ilmu Kalam






Dosen Pengampu :
Nursyamsudin,MA

Disusun Oleh :
AHMAD HIDAYAT


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
MARET, 2012


BAB 1
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Khawarij
Khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu Kharaja jamak dari kata Kharij yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak.[1] Secara Terminologis banyak pendapat yang mengartikan kelomopok khawarij, antara lain:
  1. Khawarij merupakan suatu sekte atau kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan Ali karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima Abitrase (tahkim) dalam perang shiffin (37H/648M) dengan kelompok muawiyah bin Abi Syofiyan perihal persengketaan khilafah.[2]
  2. Khawarij merupakan kelompok atau golongan yang keluar dan tidak loyal kepada pimpinan mereka yang shah. Yaitu kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.[3]
  3. Nama Khawarij terambil dari al-Quran, 4:100, ayat itu memberikan pengertian bahwa “ keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah”.  Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan Allah swt.
  4. Kaum khawarij adalah orang-orang yang memberontak etrhadap Ali pada masa terjadi arbitrase[4], dan mereka ini berkumpul di Harura dekat Kuffah.[5]
Mereka sendiri (khawarij) menyebut diri mereka dengan “syurah” (pembeli), yang berarti bahwa mereka membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan duniawi. Khawarij juga disebut An-Nawashib, sebutan ini dialamatkan kepada mereka karena mereka sangat membenci bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib.
Selain itu, mereka juga disebut “Haruriyah” yaitu dinisbatkan kepada perkataan “Harura”, ialah suatu tempat di sungai Furat dekat kota Riqqah, dimana mereka tinggal ditempat tersebut setelah pasukan Ali kembali dari perang Siffin, lantaran mereka tidak mau memasuki kota Kuffah. Nma lain yang juga dipakaikan kepada kaum khawarij adalah “Muhakimmah”, artinya mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa “tidak ada hukum selain hukum Allah”.[6]
1.2 Perang Siffin
Sebagaimana yang kita tahu bahwa perang Siffin adalah perang yang terjadi antara sahabat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan di bukit Siffin, dalam perang siffin mulai terjadi pertama kalinya pemberontakan oleh para pengikutnya yaitu khawarij, mereka yang paling menentang Ali dan begitu tersesat dari agama adalah asya”t bin Qais Al-Kindi, Mis’ar bin Fadaki, Zaid bin Husain Al-Tha’i. Mereka mengatakan kepada Ali bahwa mereka musuh itu mengajak kita kepada kitab Allah, tetapi kau malah mengajak menggunakan pedang, Ali menjawab “ Aku lebih tahu tentang kitab Allah. Bergabunglah kamu kepada teman-temanmu yang lain….![7]
Namun mereka menjawab “ engkau harus memanggil kembali Asytar dan menghentikan pertempuran, jika tidak maka kami akan memperlakukan kau sebagaimana kami memperlakukan Utsman.” Dengan demikian terpaksa Ali menarik Asytar karena banyak kekacauan dan pemberontakan, walaupun musuh sudah ditaklukan dan kekuatan mereka tinggal sedikit saja., serta sudah sangat lemah, Asytas mematuhi perintah Ali ra.
Kisah mengenai Arbitrase itu pertama kali semua menganut khawarij memaksa untuk berabritase , lalu ketika Ali ingin mengangkat Abdullah bin Abbas  sebagai arbitratornya khawarij keberatan seraya berkata” dia adalah seorang sanak saudara anda dia amat ingin menjaga kepentinganmu”, mereka mendesak ingin Abu Musa sebagai penggantinya agar memutuskan perkara itu sesuai dengan kitab Allah, ketika Ali tidak menerima itu ia melawan “ mengapa engkau mengangkat manusia sebagai hakim” tanya mereka. “ keputusan (pengadilan) hanya milik Allah saja” tambah mereka[8]
Setelah tercapai kata sepakat arbitrase tersebut, maka kembalilah pasukan-pasukan kedua pihak kepangkalan masing-masing, akan tetapi kepulangan Ali membawa petanda bagi kekalahan yang tidak dapat dihindari, sebab mereka pulang dalam keadaan bercekcok, berselisih faham dan salah menyalahkan.
Akhirnya Ali sampai kembali ke kufffah, tetapi dengan sebagian tentaranya saja, adapun yang sebagiannya lagi telah memisahkan diri daripadanya dan memberontak terhadapnya. Mereka pergi kesesuatu desa Hurara dan tidak mau masuk ke Kuffah, mereka berjumlah kira-kira enam ribu orang[9].
Agaknya boleh dikatakan bahwa pada saat terbentuknya khawarij, dan ide-ide serta faham-faham mereka melalui muncul dengan jelas, dicampuri oleh pendapat yang amat berlebihan, karena mereka sampai berani mengkafirkan utsman dan mereka ikut serta dalam perang Jammal ( perang antara Ali dan Aisyah).[10].
Mereka ini kemudian semakin nekad, sehingga menganggap remeh harta benda dan jiwa manusia mereka membolehkan siapa saja diantara kaum muslimin yang tidak mau bergabung kepadanya, karena mereka menganggap.semua orang di luargolongan mereka adalah kafir dan murtad[11].
Orang khawarij yang pertama dibaiat sebagai imam adalah Abdullah bin Wahab Ar-Rasibi, ini terjadi dirumah Zaid bin Husain oleh pemimpin kaum khawarij yaitu Abdullah ibnu Kawwah, Urwah ibnu Jarir dan Yazid ibnu Ashim, maka berangkatlah Ar-Rasibi dan mereka ke Nahrawan, yaitu ke daerah yang cukup luas, terletak antra kota Washit dan kota Baghdad sekarang ini, dengan ini di mulailah perang oleh kaum khawrij berupa perang Nahrawan.
Perang di Naharawan ini mempunyai akibat yang penting, yang terutama adalah bahwa harapan sudah lenyap sama sekali tentang kembalinya kaum khawarij kebarisan Ali, kaum khawarij senantiasa semangat apa yang telah dialami saudara-saudara mereka di Nahwaran, karena hati mereka semakin panas dan rasa oleh dendam mereka semakin bergejolak.
Akibat lainnya dari perang itu bahwa mereka yang melarikan diri dari pertempuran itu lalu berpencar , dua orang ke Oman, dua orang ke Kirman, dua orang pergi ke Sijistan, dua orang pergi ke Jazirah dan seorang pergi ke Yaman, dimasing-masing tempat itu mereka menyebarkan bid’ah kaum khawarij[12].
1.3. Doktrin-Doktrin Pokok Khawarij
Doktrin-doktrin kelompok khawarij itu terbagi menjadi tiga kategori, yaitu : doktrin politik, doktrin social, dan doktrin teologi.[13]
A. Doktrin Politik
  • Khafilah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
  • Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
  • Pasukan perang jammal yang melawan Ali  juga dianggap kafir.
  • Khalifah dipilih secara permanent selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
  • Imam dan khilafah bukanlah suatu keniscayaan. Tanpa imam dan khilafah kaum muslimin bisa hidup dalam kebanaran dengan cara saling menasehati dalam hal kebenaran.[14]
  • Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun dari masa kekhalifahannya, utsman dianggap telah menyeleweng.
  • Khalifah Ali adalah sah, tapi setelah arbitrse dia dianggap teklah menyeleweng.
  • Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asyari juga dianggap menyeleweng dan kafir.
B. Doktrin Teologi
  • Amar ma’ruf nahi munkar.
  • Memalingkan ayat-ayat al-quran yang tampak mutasabihat.
  • Qur’an adalah makhluk.
  • Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan.
  • Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan Rasul-Nya. selain dua hal itu tidak wajib diketahui.
C. Doktrin Sosial
  • Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang teah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
  • Orang musyrik adalah orang yang melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka atau orang yang sepaham akan tetapi tidak ikut hijrah dan berperang bersama mereka. orang musyrik itu halal darahnya, nasib mereka bersama anak-anaknya akan kekeal di neraka.[15]
  • Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
  • Orang islam yang berbuat dosa besar, seperti berzina dan membunuh adalah kafir dan selamanya masuk neraka.
  • Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam Negara musuh.
1.4. Ciri-ciri Kaum Khawarij
Kaum khawarij memiliki ciri-ciri dan sifat yang has, yang jarang dimiliki oleh golongan yang lainya., antara lain yaitu:
  1. Sifat-sifat kaum khawarij, yaitu kedangkalan dan tidak mendalamnya mereka tentang mendalami masalah-masalah yang mereka hadapi, serta tidak jauhnya pandangan mereka dalam menilai hasil-hasil dan akibat dari perbuatan-perbuatan yang hendak mereka kerjakan [16].
  2. Mereka sangat keras dan berlebih-lebihan dalam beribadah, contohnya dari riwayat Ibnu Abbas ketika datang kepada Khalid melihat kening mereka luka-luka karena sujud mereka sangat lama, dan mereka gemar dan siap untuk beribadah[17].
  3. Khawarij memiliki sifat berani dan suka berperang serta menganggap rendah tentang kehidupan dunia ini, untuk mempertahankan pendapat dan prinsip yang mereka anut[18]
  4. Khawarij memiliki sifat anarkime dan kesukaan mereka memberontak serta menimbulkan kegoncangan dan tidak mematuhi peraturan dan tata tertib.
Bukti-bukti bahwa mereka anarkis, antara lain sebagai berikut:
  1. Mereka itu memusuhi semua orang dan memaklumkan perang kesemua orang yang tidak termasuk golongan mereka.
  2. Mereka menghalalkan darah semua muslim dan harta muslim di luar golongan mereka.
  3. Mereka itu terpecah–pecah kepada golongan yang banyak jumlahnya, disatu sama lain biasa bertempur karena sebab-sebab yang remeh.
  4. Mereka suka mengkafirkan orang lain karena sebab-sebab yang sangat remeh, ataupun tanpa sebab sama sekali, sehinggaa salah seorang dari mereka pernah berkata “ kalau imam telah kafir maka kafir pula rakyatnya”
Itulah beberapa gambaran cirri dan sifat kaum khawarij,ad yang baik dan adapula yang buruk hal itu disebabkan karena golongan ini tidak mempunyai prinsip-prinsip yang tetap, yang didasarkan kepada penyelidikan yang dalam.
1.5. Prinsip-Prinsip Khawarij
Adapun khawarij berkelompok-kelompok dan bercabang-cabang, mereka tetap berpandangan sama dalam dua perinsip, yaitu :[19]
  1. Persamaan pandangan mengenai kepemimpinan , mereka sepakat bahwa khalifah diserahkan kepada rakayat untuk memilihnya an tidak ada keharusan dari kabilah atau keturunnan tertentu, seperti quraish atau keturunan nabi.
2. Persamaan pandangan yang berkenaan dengan aqidah. Mereka berpendapat bahwa mengamalkan perintah-perintah agama adalah sebagian dari iman.
1.6.Aliran-Aliran Khawarij
Aliran-aliran khawarij secara keseluruhan terdapat sebanyak delapan golongan, namun hanya enam yang akan kami jelaskan, antara lain:
1.Azariqah
Mereka adalah para pengikut Abu Rayid Nafi bin Al-Azraq. Mereka meyertainya dari Basrah ke Ahwaz yang semua kotanya mereka taklukan, begitu juga distrik Kirman dan Fariz diluar kota Ahwaz ini terjadi pada masa Abdullah bin Zubair yang para gubernurnya terdapat di distrik tersebut dibunuh oleh mereka.
Diantara para pemimpin  khawarijiyyah bersama Nafi, sebagai berikut: Athiyah bin Aswad Al-Hanafi, Abdullah bin Makhun, Amr bin Umar Al-Anbar, Qathari bin Al-Fuja’aha Al-Mazini, Ubaidah bin Hillal Al-Yasykari, Shakr bin Habib Al-Tamimi, Shalih bin Mihraq Al-Abdi, Abd Rabihi Al-Kabir dan Abdu Rabbih Ash-Shaqrir. Mereka berkekuatan kira-kira tiga puluh ribu orang berkuda[20].
Kaum Azariqah ini adalah golongan kaum khawarij yang terbesar dan yang paling berbahaya, dan yang paling banyak kemenangan, Azariqah memiliki bid’ah didalam bidang agama, antara lain:
  1. Menyatakan kafir orang-orang islam selain mereka, kekal dalam neraka dan halal membunuhya.
  2. Menyatakan halal membunuh anak-anak dan para wanita yng menentang mereka
  3. Meniadakan hukum rajam terhadap orang yang berzina, lantaran hukuman itu tidak disebutka dalam Al-Quran
  4. Menyatakan kafir orang yang menyatakan dosa besar
  5. Perinsip taqiyah tidak boleh, baik dalam perkataan maupun perbuatan
  6. Menyatakan kafir orang-orang yang tidak ikut berperang
  7. Menetapkan hukum bahwa anak-anak dari orang musyrik juga akan dimmasuka ke neraka bersama ayah mereka.
2. Nandat Adzariyah
Mereka adalah pengikut najdah bin amir al-hanafi oleh sebagian dipangil ashim. Ashim meninggalkan Yamamah bersama tentaranya dengan maksud untuk bergabung dengan Azariqah. Dia bergabung dengan Abu Fudak dan Athiyah bin Al-Aswad Al-Hanafi bersama sekelompok orang yang menentang Nafi bin        Al-Azraq dikarenakan tidak menyetujui pendirian Nafi bahwa orang-orang yang tidak mengikuti perang adalah kafir. Ditambah lagi tidak menyetujui kebid’ahhan Nafi lainnya. Oleh karena itu, mereka membaiat Najdah dan menganugrahkannya amirul mu’minin[21].
Najdah adalah orang yang sangat pemurah, dibangding kaum Azariqah.      Ia tidak mengkafirkan orang yang tidak ikut berperang, membolehkan perinsip taqiyah, dan suka memaafkan orang-orang yang tidak tahu. Najdah berpendapat bahwa agama itu meliputi dua hal, antara alin:[22]
  1. Mengenal Allah dan Rasul-Nya dan mengakui apa-apa yang dating dari Allah
  2.  Orang dapat dimaafkan kalau tidak mengetahuinya  itulah sebabnya golongan ini disebut kaum “ Adzariyah” yaitu kaum pemaaf. Negadah juga berpendapat bahwa orang yang berzina atau minum arak atau mencuri tetapi tidak melakukannya terus menerus maka ia bukanlah musyrik.
3. Ibadhiyah
Golongan Ibadhiyah adalah golongan yang mengikut Abdullah bin Ibad yang mengadakan pemberontakan pada masa kekhalifahan Marwan bin Muhammad. Ibadiyah mengatakan bahwa wilayah mereka (daur al-salam) yaitu daerah orang-orang muslim yang bertauhid sedangkan markas tentera sultan adalah daerah perang/negeri kesesatan (daur Al-harb) mereka memandang pelaku dosa besar sebagai para penganut tauhid juga (muwahhidun) tapi bukan mukminin[23].
Menurut Ibadiyah, perbuatan manusia memang diciptakan oleh Allah, yakni diwujudkan dan dihasilkan oleh-Nya, tapi semua perbuatan itu sungguh-sungguh diperoleh manusia (dari-Nya ) mereka tak memanggil amirul mu’minin kepada imam mereka, tidak pula menamakan diri merka sebagai muhajirin , mereka mengatakan bahwa dunia ini akan binasa bersama dengan umat manusia yang kesemuanya tunduk kepada perintah Allah untuk binasa, mereka bependirian barang siapa yangmelakukan dosa besar, maka dia menjadi kafir , tapi hanya dalam artian kafir nikmat , buan berarti putus dengan kaum mukminin[24]
Namun, Ibadiyah berselisih pendapat mengenai kemunafikan, yakni bersengketa mengenai daerah kaum munafik dikatagorikan sebagai musyrikin atau tidak, mereka mengatakan bahwa kaum munafikin dimasa Nabi Muhammad SAW, adalah muwahidin, tapi juga mereka melakukan dosa besar, maka mereka menjadi kafirin, karena dosa-dosa tersebut bukan karena kemusrikan mereka, merekapun berpendirian bahwa apa saja yang Allah perintahkan adalah umum bagi semua manusia, tidak terbatas pada sebagian orang. Dan mereka juga berpendapat bahwa jaiz bagi Allah untuk mengutus Rasul tanpa memberikan suatu tanda dengan mana dia akan bisa diketahui oleh banyak orang sebagai Rasulnya. Ibadiyah berselisih pendapat pula dikalangan mereka sendiri, sehingga melahirkan tiga golongan , antara lain:Hafsyiah, Haritsiyah, Yazidiyah.[25]
Kaum khawarij yang masih ada sampai sekarang ini hanyalah golongan dari kaum ibadiyah, yang menetap di oman dan beberapa tempat di Afrika utara.[26]
4. Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim bin ajrad, yaitu salah seorang dari murid Athiyah bin Aswad al-yasykuri dari golongan najdat.dan adapula yang mengatakan bahwa ibnu Ajrad adalah murid ibnu Baehas . Abdul karim berpendapat bahwa suatu kewajiban untuk menjauhkan diri dari anak-anak, sehingga si anak masuk islam. Diajuga berpendapat bahwa anak-anak kaum musrikin akan berada di nerakabeserta oran tuanya, menurut Abdul Karim, harta kekayaan bukan merupakan harta rampasan sehingga pemiliknya terbunuh[27].
Ajaridah tidak menganggap musuh terhadap orang-orang yang tingal di rumah(tidak ikut perang )jika pengakuan keagamaan mereka diketahui oleh mereka, dikatakan merea menolak surat yusuf sebagai bagian dari al-Qur’an , mereka berpendirian bahwa surat yusufhanyalah sebuah kisah , malahan kata mereka kisah cinta tidak bias merupaka bagian dari al-Qur’an[28].
Nampaknya kaum ajaridah ini suka berpecah-pecah, kaum ajaridah ini terdiri dari tujuh golongan yaitu: Shatiyah, Maemuniyah, Hamziyah, Khalafiyah, Atthafiyah, Syu’abiyah, dan Hazimiyah[29] 
5. Tsa’alibah[30]
Mereka adalah para pengikut Tsa’aliban bin Amir yang bersahabat dengan Abdul Karim bin Ajrad (tokoh Ajaridah), namun mereka berselisih paham mengenai nasib anak-anak di akhirat. Dia mengatakan akan bersahabat saja dengan anak-anak, sampai mengetahui apakah mereka musuh atau sahabat ketika mereka sudah dewasa dan telah dlseru untuk beriman.
Tsa’alibah ini terbagi menjadi tujuh kelompok, yaitu : Akhsyaniyah, Ma’badiayah, Rusyaidiyah, Syaibaniah, Mukharamiyah, Ma’lumiyah-Majhuliyah, dan Bid’iyah.
6. Shafariyah Ziyadiyah[31]
Mereka ini adalah para pengikut Ziyad bin Al-Ashfar. Golongan ini berbeda paham dengan golongan Azariqah, Najdat, dan Ibadiyah. Misalkan mereka memandang kafir terhadap orang yang tidak ikut berperang, asalkan mereka sepaham dengan mereka dalam keyakinan agama.
Hal yang membuat mereka kutang ekstrim dari kelompok yang lainnya adalah pendapat-pendapat mereka sebagai berikut :[32]
1.   Orang shafariyyah yang tidak ikut serta dalam peperangan tidak dianggap kafir
2.   Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh
3.   Kurf atau kekafiran dibagi dua macam : kurf bi inkat al-ni’mah (kafir akan nikmat Allah) dan kurf bi inkar al-rububiah (mengingkari Allah sebagi Tuhannya). Kemusyrikan dibagi menjadi dua macam : taat kepada syetan dan menyembah berhala.
Disamping pendapat di atas, terdapat pendapat yang spesifik bagi mereka, yaitu :
1. Taqiyyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam perbuatan.
2. Untuk keamanan dirinya, perempuan islam boleh menikah dengan lelaki kafir, di daerah bukan islam

BAB 2
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Khawarij adalah golongan yang keluar dari kepemimpinan Ali ra pada masa terjadinya arbitrase. Dimana arbitrase ini terjadi pada perang Siffin. Cirri dari kelompok khawarij adalah sangat berlebih lebihan dalam masalah ibadah, tidak mendalam dalam memahami suatu permasalahan, suka berperang, dan bertidak anarkis serta suka melakukan pemberontakan.
Di awal telah kami jelaskan mengenai bukti keanarkisan kaum khawarij, prinsip-prinsip dan ide-ide pemikirannya. Kelompok khawarij itu terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok antara lain : Azariqah, Najdat, Ajaridah, Ibadhiyah, Tsa’alibah dan Shafariyah Ziyadiyah.   

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon : Rozak, Abdul.2001.Ilmu Kalam : Pustaka Setia.Bandung
Abdul Karim Syahratani, Muhammad. 1996. Sekte-Sekte Islam : Pustaka. Bandung
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-Aliran Islam Sejarah Analisa Perbandingan: UI-Press. Jakarta
Solahudin, Muhammad. 2010. Ulumul Hadits : Pustaka Setia. Bandung
Syalabi, Ahmad. 1995. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Cet-3 : PT. Al-Husna Zikra. Jakarta
http://www.pramuslim.com/berita/gerakandakwah/khawarij-sejarah perkembangan dan prinsipnya.html



[1] Rosihon Anwar : Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet-1,2001: Pustaka Setia,Bandung,hlm.49
[2] Ibid.
[3] M.Solahudin,Ulumul Hadits,2010:Pustaka Setia, Bandung,hlm.210
[4] Arbitrase adalah penyepakatan seseorang menjadi hakim oleh dua belah pihak yang bersengketa untuk mendapatkan keputusan
[5] Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, Sekte-sekte Islam,1996, Bandung, penerbit Pustaka,hlm.145
[6] Prof.Dr.Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam-Jilid2, Cet-3,1955,Jakarta,PT.Al-Husna Zikra,hlm.309
[7] Ibid.,hlm.310
[8] Abdul Karim Syahratani,Op.Cit.,hlm.144
[9] Prof.Dr.Ahmad Syalabi,Op.Cit,hlm.314
[10] Ibid.,hlm.316-317
[11] Ibid.
[12] Prof.Dr.Ahmad Syalabi,Op.Cit,hlm.317
[13] Rosihon Anwar : Abdul Rozak,Op.Cit.hlm.51
[16] Prof.Dr.Ahmad Syalabi,Op.Cit.,hlm.346
9 Ibid.,hlm.348

[18] Ibid.,hlm.351
[19] http://www.pramuslim.com/berita/gerakandakwah/khawarij-sejarah perkembangan dan prinsipnya.html
[20] Abdul Karim Syahratani.Op.Cit,hlm.148
[21] Abdul Karim Syahratani,Op.Cit,150-151
[22] Prof.Dr.Ahmad Syalabi,Op.Cit,hlm.368
[23] Prof.Dr.Ahmad Syalabi,Op.Cit,hlm.369
[24] Abdul Karim Syahratani,Op.Cit,hlm.166
[25] Ibid.,hlm.167-168
[26] M.Sholahudin,Loc.Cit,hlm.211
[27] Abdul Karim Syahratani,Op.Cit.hlm.157
[28] Ibid.,hlm.158
[29] Prof.Dr.Ahmad Syalabi,Op.Cit,hlm.370
[30] Abdul Karim Syahratani,Op.Cit,hlm.161-165
[31] Ibid.,hlm.168-169
[32] Harun Nasution, Teologi Islam : Sejarah-Sejarah Analisa Perbandingan, 1986, Jakarta : UI-Press, hlm.21

Pengantar Hukum Islam


MAKALAH
KARAKTERISTIK DAN PEMBARUAN
HUKUM ISLAM

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi tugas terstruktur
Pengantar Hukum Islam di Indinesia




Dosen Pengampu :
Ahmad Rofi’I,MA.,LL.M

Disusun Oleh :
AHMAD HIDAYAT



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
MARET, 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perkembangan hukum islam terhenti karena adanya paham yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dimasa ini masyarakat islam masih kuat anggapannya bahwa taqlid (mengikuti pendapat ulama terdahulu) masih cukup menjawab untuk persoalan-persoalan kontemporer, dari pada mengikuti pendapat yang orang banyak yang khawatir salah.
Oleh karena itu, diperlukan adanya pembaruah hukum islam dengan pertimbangan bahwa zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman imam madzhab dan fuqoha. Pemikiran-pemikiran hukum sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman sekarang, maka dari itu perlu adanya perubahan baru dalam memahami hukum Allah untuk dipakai dalam mangatur kehidupan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[1]   

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.      Bagaimana karakteristik hukum islam?
2.      Bagaimana madzhab hukum islam di Indonesia?
3.      Bagaimana pembaruan hukum islam di Indonesia?
4.      Bagaimana pemikiran hukum menurut Hasbi Ashiddieqy dan Hazairin?

1.3.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini tidak lain untuk menjelaskan rumusan masalah diatas, sebagai berikut :
1.      Menjelaskan karekteristik hukum islam.
2.      Menjelaskan madzhab hukum islam di Indonesia.
3.      Menjelaskan pembaruan hukum islam di Indonesia.
4.      Menjelaskan pemikiran hukum menurut Hasbi Ashiddieqy dan Hazairin.


BAB 2
PEMBAHASAN
 
2.1.Karakteristik Hukum Islam
Hukum islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik sistem hukum lain yang berlaku di dunia. Berbedanya karakteristik ini disebabkan karena hukum islam berasal dari Allah SWT, bukan buatan manusia yang tidak luput dari kepentingan individu dan hawa mafsu. Salah satu karakteristik hukum islam adalah menyedikitkan beban agar hukum yang ditetapkan oleh Allah ini dapat dilaksanakan oleh manusia agar dapat tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.[2]
Hasbi Ashiddieqy mengemukakan bahwa hukum islam mempunyai tiga karakter yang merupakan ketentuan yang tidak berubah, yakni : pertama, takamul yaitu sempurna, bulat dan tuntas. Maksudnya bahwa hukum islam membentuk umat dalam suatu ketentuan yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlainan suku, tetapi mereka satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, wasathiyat (harmonis), yakni hokum islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan kejiwaan dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum islam selalu mnyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dari cita-cita. Ketiga, Harakah (dinamis), yakni hokum islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum islam terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memeberikan kepada manusia sejumlah hukum yang positif dan dapat dipergunakan pada setiap tempat dan waktu.[3]
Menurut Yusuf Al-Qadhrawi, berpendapat bahwa karakteristik hokum islam ada sepuluh, yaitu :[4]
1.      Hukum islam itu memudahkan dan menghilangkan kesulitan.
2.      Memerhatikan tahapan masa atau berangsur-angsur.
3.      Turun dari nilai ideal menuju realita dalam situasi darurat.
4.      Segala hal yang merugikan atau kesengsaraan umat harus dilenyapkan dan dihilangkan.
5.      Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.
6.      Kemudharatan yang bersifat khusus digunakan untuk kemudharatan yang bersifat umum.
7.      Kemudharatan yang ringan digunakan untuk menolak kemudhartan yang berat.
8.      Keadaan terpaksa memudahkan perbuatan atau tindakan yang terlarang.
9.      Apa yang dibolehkan karena terpaksa, diukur menurut ukuran yang diperlukan.
10.  Menutup sumber kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

Menurut Muhammad Ali Al-Sayih, mengemukakan bahwa karakteristik hukum islam yang paling menonjol ada tiga, yaitu tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, menjaga kemaslahatan manusia dan selalu melaksanakan keadilan dalam penerapannya.[5]
Semua karakteristik yang dikemukakan pakar ilmu hukum diatas maksudnya sama dan berpedoman pada ayat al-Qur’sn Surat Al-A’raf : 157, yang intinya yaitu tidak menyusahkan, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran, dan sesuai dengan kemaslahatan umum.[6]
Dari uraian diatas, berikut ini diuraikan beberapa karakteristik hokum islam, sebagai berikut :
1.      Ketuhanan (Rabbaniyah)
Hokum islam adalah hukum yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dunia dan akhirat. Dalam pelaksanannya sangat memperhatikan iman, akhlak, moral dan etika dalam seluruh aspeknya yang merupakan akibat dari karakter Rabbaniyah.[7]
2.      Universal (syumul)
Salah satu fakta yang tidak dapat diingkari adalah bahwa hukum islam telah berlaku pada hamper diseluruh dunia dengan kelebihannya, keragaman bangsa dan peradabannya, sesuai dengan perubahan waktu dan zaman. Syumuliah hukum islam mencakup apa saja yang berhubungan dengan permasalahan keluarga (al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah) seperti, pernikahan, perceraian, nafakah, kewarisan. Selain itu juga mencakup hukum-hukum yang berhubungan dengan perdagangan, bisnis seperti jual beli, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan asuransi dll. Hukum islam juga berkaitan dengan kewajiban Negara terhadap rakyat.[8]
3.      Harmonis (wasthiyyah)
Karakter harmonis mempunyai arti yang sama dengan keseimbangan yang mempunyai arti keimbangan diantara dua jalan yang saling berhadapan atau bertentangan, dimana salah satunya tidak dapat berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang lain serta tidak dapat mengambil hak yang lebih banyak melampaui yang lain. Contohnya, spiritualisme dengan materialisme.[9]
4.      Manusiawi (insaniyah)
Makna karakteristik ini adalah bahwa hukum islam diperuntukan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, membimbing dan memelihara sifat-sifat manusianya serta menjaga dari sifat jelek, jahat hewani agar tidak dapat mengalahkan sifat kemanusiannya.[10]
Karakteristik hukum islam yang bersifat insaniyah tiada lain adalah pengakuan Allah terhadap kemuliaan manusia karena kemanusiaannya. Dimana karakteristik ini sebagai dasar dalam melaksanakan hubungan internasional yang harus dilaksanakan berdasarkan kekeluargaan dan persaudaraan. Hukum islam menganggap bahwa perhambaan terhadap Allah dan pertalian keturunan dari Nabi Adam as dan siti hawa telah menikah sesama manusia di dunia ini.[11]

2.2. Mazhab Hukum Islam di Indonesia
Dinamika fiqh Indonesia pada abad 17 dan 18 berkembang tradisi mazhab Syafi’iyah. Hal ini dapat dipahami karena, pertama proses islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan 13 merupakan saat-saat dimana perkembangan hokum islam berada dalam masa krisis dengan tertutupnya pintu ijtihad. Kedua, secara kebetulan proses islamisasi dilakukan oleh sejarawan yang menganut mazhab Syafi’i.[12]
Pada abad 17 ternyata sangat banyak ulama mazhab Syafi’I yang berdomisili di Aceh. Hal ini sangat terkait dengan semangat Sultan Iskandar Muda Alam Syah yang sangat menggalakan kedatangan para ulama untuk kepentingan dakwah islamiyah di tanah Aceh. Salah satu tokoh yang dapat di angkat adalah Nur ad-Din ar-Raniri. Karya ar-Raniri dalam bidang fiqh adalah buku Shitah al-Mustaqim, meskipun kitab ini bersifat polemis, namun dalam menyusunnya mendasarkan pada buku-buku Syafi’iyah standar. Buku Syafi’iyah antara lain Minhaj ath-Thalibin, kitab Al-Anwar, Nihayah al-Muhtaj dan lain sebagainya.[13]
Selain itu, di masa lalu waawsan para hakim peradilan di Indonesia masih terpaku pada hokum yang terdapat dalam mazhab Syafi’I. kemudian adanya surat edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan pada pengadilan agama seluruh Indonesia agar para hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara berpedoman pada 13 kitab kalangan imam Syafi’i.  Tiga belas kitab tersebut antara lain Al-Bajuri, Fathul alat Tahrir, Qulyubu/Muhalli, Fathul Wahab, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syari’iyah Lissayid Usman bin Yahya, Shodaqoh Dakhlan, Syamsuri Lil Faraid, Bughyatul Murthasyidin, al-fiqh alal Muadzahibil Ar-ba’ah dan Mugnil Muhtaj. Namun karena adanya paham kebangsaan yang menitikberatkan pada penegakan hokum yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang berlaku dalam suatu Negara, maka produk hokum islam yang dihasilkan oleh Negara tidak lagi terkait kepada satu mazhab, melainkan diambil dari pemikiran beberapa mazhab.[14]

2.3.Taqlid dan Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia
1.      Taqlid
Taqlid ialah menerima hukum yang dikumpulkan oleh seorang mujtahiddan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara sendiri.[15] Sebab keterpakuan terhadap mazhab terdahulu terjadi karena keterbelengguan akal pikieran sebagai akibat hilangnya keterbatasan pikiran. Karena keterbatasan pikiran tersebut menimbulakn pendapat para ulama yang memandang bahwa pendapat para ulama imam mazhab sepaham dengan nash Al-Qur’an dan sunah yang tidak dapat diubah, digugat ataupun diganti.[16]
Sedangkan secara rinci penjelasan sebab terjadinya taqlid, sebagai berikut:[17]
·         Adanya penghargaan dan pelestarian mazhab imam terdahulu
·         Adanya ajakan yang kuat dari guru kepada murid untuk mengikuti mazhab yang ia anut
·         Lemahnya pemikiran terhadap pengembangan imu
·         Tidak adanya kesesuaian antara perkembangan akal dan perkembangan pemahaman fiqh
·         Berkembangnya sikap yang berlebihan atau sangat fanatik terhadap mazhab imam terdahulu
·         Banyaknya kitab-kitab fiqh.
Demikian sekitar sebab taqlid yang dijelaskan secara rinci, namun menurut Jaih Mubarok, taqlid terjadi karena dua hal : pertama, keterbelengguan pemikiran, sehingga para ulam lebih suka mengikatkan diri dengan aliran fiqh tertentu, dan kedua, karena para ulama kehilangan kepercayaan diri untuk berdiri sendiri yang didasarkan pada anggapan bahwa ulama pendiri mazhab itu lebih jelas cerdas dan pintar daripadanya.[18]
2.      Pembaruan Hukum Islam
Pembaruan hukum islam di Indonesia agak lamban perkembangannya dibandingkan dengan Negara-negara islam di Timur Tengah dan Afrika Utara. Keterlambanan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya masih kuatnya anggapan bahwa taqlid masih cukup untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, disamping banyak ulama merasa lebih aman mengikuti pendapat ulama terdahulu dari pada mengikuti pendapat orang banyak yang khawatir salah. Oleh sebab itu, dengan adanya pertimbangan bahwa zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman imam madzhab dan fuqoha, pemikiran hukum sudah banyak yang tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang, maka pada masa sekarang mutlak diadakan perubahan hokum islam dengan ijtihad dan pemikiran baru dalam memahami hukum Allah untuk dipakai dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[19]
a). Pengertian Pembaruan Hukum Islam[20]
Dalam literature hukum islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, tarjih, islah dan tajdid. Menurut Yusuf Al-Qadhrawi, yang dimaksud dengan pembaruan  adalah berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang baru. Hal itu dengan cara memperkokoh sesuatu yang lemah, memperbaiki yang rusak, dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada bentuknya yang baru.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembaruan hukum islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi Al-Iadah, Al-Ibanah dan Al-Ihya. Al-Iadah artinya menegmbalikan masalah-masalah agama terutama yang bersifat khilafiah kepada sumber agama islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Ibanah adalah pemurnian ajaran agama islam segala macam bid’ah dan pembahasan berfikir ajaran agama dari fanatic madzhab, aliran, yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Sedangkan Al-Ihya adalah menghidupkan kembali, menggerakan, memperbaharui pemikiran dan melaksanakan ajaran Islam.
Masalah-masalah yang perlu untuk di perbarui adalah hal-hal sebagai berikut :
1.      Manhaj Ilahi, baik tentang aqidah, Syariat atau akhlak untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dan hubungan sesama manusia, agar terwujud kemaslahatan didunia dan akhirat.
2.      Fikrah atau pemikiran yang terus maju, bukan diri Allah yang diperbarui, tetapi diri manusia, agar manusia tetap bertambah kokoh iman dan pengamalannya.
Oleh karena itu, dalam melakukan pembaruan hukum islam, hendaklah menjauhi hal-hal yang bersifat Qath’I karena objek yang dapat diperbarui adalah hal-hal yang bersifat Dzanni saja. Karena dalam hal yang qath’I tidak ada peluang untuk berijtihad dalam hukum yang telah ada nashnya secara jelas.
b). Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pembaruan
Menurut para pakar hukum islam di Indonesia, pembaruan hukum islam terjadi pada saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :[21]
1.      Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terdapat hokum masdah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk ditetapkan.
2.      Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.
3.      Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hokum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4.      Pengaruh pembaruan pemikiran hukum islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mengantisipasi faktor-faktor diatas, maka perlu diadakan langkah-langkah sebagai berikut :[22]
1.      Menggunakan kajian komperensif tanpa mengabaikan khazanah intelektual islam klasik.
2.      Mamasukan masalah kekinian kedalam pertimbangan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
3.      Mengembangkan fiqih islam dengan cara memfungsikan kembali ijtihad, sehingga menghasilkan materi hukum yang sesuai dengan modernisasi dalam masyarakat islam.
4.      Menyatukan pendapat diantara madzhab-madzhab tentang berbagai masalah hukum yang serupa demi kepastian hukum.
Ijtihad dalam ruang pembaruan hukum islam, perlu dilaksanakan secra terus menerus guna mengisi kekosongan hukum, sebab tidak mungkin ijtihad ulam terdahulu dapat semua mencakup semua hal secara mendetail ketentuan hukum masa sekaranga.[23]
c). Peranan Ijtihad dalam Pembaruan Hukum Islam
Peranan ijtihad sangat besar dalam pembaruan hukum islam. Pembaruan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Antar pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipiahkan, saling mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses pembaruan islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad itu akan benar pula.[24]
Menurut Yusuf Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk menghadapi era globalisasi saat ini, yaitu : pertama, ijtihad inthiqa’i (tarjih) yaitu memilih satu pendapat dari pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqh islam, kemudian mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi sekarang ini. Kedua, Ijtihad Insya’i yaitu pengambilan kesimpulan baru dari suatu persoalan, dimana persoalan lama ataupun persoalan baru. Dalam Ijtihad Insyai ini diperlukan pemahaman yang baik tentang metode penentuan hokum yang dikemukakan oleh para ushul fiqh, yaitu qiyas, mashlahah mursalah dan lain sebagainya.[25]

d). Konsep Pembaruan Hukum Islam di Indonesia
Langkah awal yang dilaksanakan oleh para pembaru islam  di Indonesia adalah mendobrak paham bahwa ijtihad sudah tertutup, membuka kembali kajian-kajian tentang hukum islam dengan metode komperensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Paham yang mengatakan lebih baik bertaqlid daripada membuat hokum yang baru harus segera dihapuskan.[26]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy[27] dalam rangka pembaruan hukum islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq dan secara selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi negara Indonesia. Di Indonesia dikenal beberapa pembaru hukum islam yang banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan hokum islam, diantaranya Hazairin, Harun Nasution, Muhammad Natsir dan lain sebagainya. Para tokoh pembaru ini berjasa dalam hal memasukan nilai-nilai hukum islam ke dalam legilasi dan juga melahirkan beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan untuk dipergunakan oleh umat islam khususnya dan warga Indonesia umumnya. Peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya Undang-Undang No.1 tahun 1974, PP No.28 tahun 1997 tentang perwakafan tanah milik, PP No.72 tahun 1992 tentang Bank Syariah berdasarkan prisip bagi hasil.[28]
e). Peranan Kesadaran Masyarakat dalam Menerima Pembaruan Hukum Islam
Masyarakat islam dapat menerima kehadiran pembaruan islam sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasra syarist islam dan sesuai dengan kemaslahatan umat. Dengan alas an banyak peristiwa baru yang harus dijawab, sedangkan peraturan perundang-undangan tidak atau belum mengaturnya. Dan untuk membentuk kaidah baru yang sesuai denagn situasi dan kondisi masyarakat sekarang.[29]
Bagi masyarakat yang menolak pembaruan hukum islam dengan alasan mereka masih menganut prinsip bahwa nash Al-Qur’an dan Hadits harus dipahami secara tekstual bukan secara kontekstual, mereka sangat fanatik terhadap paham imam mazhab terdahulu, dan kehati-hatian mereka menerima hukum yang baru dalam menyelesaikan suatu masalah, sebab kalau salah berarti mendapat dosa dari Allah SWT. Terhadap masyarakat yang belum menerima pembaruan hukum islam, kepada mereka perlu diberi penyuluhan hukum oleh instansi yang berwenang, agar mereka mengerti bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah banyak yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang. Kepada mereka juga perlu diberi pengetahuan tentang hukum-hukum kontemporer, sehingga mereka paham tentan hukum baru tersebut.[30]

2.4.  Pemikiran Hukum Hasbi Ash-Shiddieqy dan Hazairin
Cendikiawan muslim Indonesia sejak tahun 1970-an dengan disponsori oleh Hazairin. Langkah pertama yang dilakukan oleh Hazairin adalah berusaha mendepak teori receptie (yang disebutnya dengan teori iblis) yang dibuat oleh colonial Belanda atas tipu daya Snouk Hurgronje. Teori tersebut menyatakan bahwa hukum islam baru boleh dilaksanakan untuk menyelesaikan kasus-kasus hokum kekeluargaan bagi umat islam apabila hukum islam tersebut telah diterima oleh hukum adat. Kemudian Hazairin berusaha meyakinkan bangsa Indonesia bahwa dengan berlakunya UUD’45, teori receptie ini sudah terkubur secara formal dan dengan sendirinya tidak perlu dihiraukan lagi. Teori beliau ini dinamakan teori receptie exit. [31]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa hokum islam yang sebenarnya adalah tidak lain pada fiqh islam dan syariat islam, yaitu daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersumber pada Al-Quran dan Hadits dan Ijma. Beliau juga mengatakan bahwa hukum islam adalah hukum yang terus hidup, sesuai dengan undand-undang gerak dan subur. Dia mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus, karenanya hukum islam senantiasa berkembang dan perkembangannya itu merupakan tabiat hukum islam yang terus hidup.[32]
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Hazairin adalah tohoh lokomotif pengagas fiqh Indonesia. Sebenarnya Hasbi Ash-Shiddieqy bukan semata-mata ahli hukum, melainkan dia ahli dalam berbagai bidang. Namun demikian, fiqh agaknya lebih menjadi perhatian beliau. Ide pokok penomental beliau tentang fiqh adalah gagasan agar fiqh yang diterapkan di Indonesia harus berkepribadian Indonesia atau wawasan keIndonesiaan. Pemikiran semacam ini sebelumnya yang masi berkepribadian Arab. Jika ulama tradisional dalam membahas hukum islam berpihak pada salah satu mazhab secara utuh, karena menolak talkif. Hasbi secara berani menerima talkif dan secara efektif memilih mana yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia. Hasbi lebih berkonsentrasi pada metodologi penggalian hukum, salah satu aspek yang kurang mendapat perhatian serius oleh para ahli hukum sebelumnya. Sedangkan Hazairin lebih berkonsentrasi membahas materi hukum waris nasional. Pemikiran Hasbi tentang fiqh Indonesia sebenarnya didasarkan pada konsep maslahat.[33]
Jadi dapat disimpulkan bahwa baik Hazairin ataupun Hasbi As-Shiddieqy sering melontarkan pendapatnya mengenai perlunya disusun semacam fiqh Indonesia dalam bentuk Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia sebagaimana pernah berkembang di Negara lain, seperti fiqh Hijazy, fiqh Misry, dan fiqh Iraqy.[34]

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hukum islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh islam dan syariat islam, yaitu daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Dimana hukum islam mempunyai karakteristik yang berbeda dengan karakteristik sistem hokum yang lain yang ada di dunia. Karakteristiknya yaitu takamul (sempurna), wasathiyah (harmonis), dan harakah (dinamis). Mazhab hukum islam Indonesia banyak berkembang kepada tradisi mazhab Syafi’I. Karena sangat fanatiknya terhadap mazhab-mazhab terdahulu mengakibatkan terjadinya taqlid karena taqlid ini salah satu penyebab terhambatnya proses pembaruan hukum islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang. Karena adanya kesadaran para cendikiawan islam, maka muncullah penggerak pembaruan hukum islam seperti Hazairin dan Hasbi Ash-Shiddieqy denga berbagai pemikirannya. Dalam pembaruan hukum islam ini perlu adanya peranan ijtihad dan kesadaran masyarakat dalam menerima pembaruan hukum islam tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cet-5.Jakarta : Bulan Bintang
Ash-Shiddiqy, Hasbi. 2001. Filsafat Hukum Islam. PT. Pustaka Rizki Putra Semarang :
Manan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia: PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Wahid,Marzuki : Rumadi.2003.Fiqh Mazhab Negara:Kritik Atas Politik Hukum Islam Indonesia. LKiS:Yogyakarta
Mubarok,Jaih.2000.Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.Bandung : PT Remaja Rosdakarya


[1] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 2006, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 5-8
[2] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia ,hlm.94
[3] Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, 2001, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, hlm.105-108
[4] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm 64.
[5] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm .95
[6] Ibid.
7Ibid.,hlm.96-97
[8] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm .97-100
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm 103.
[11] Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsfat Hukum  Islam.hlm 160
[12] Marzuki Mubarok : Rumadi, Fiqh Mazhab Negara:Kritik Atas Politik Hukum Islam Indonesia,2003,Yogyakarta,LKis,hlm.114
[13] Ibid,hlm.115-116
[14] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.4
[15] Hasbi Ash-Shiddieqy,Pengantar Hukum Islam,1994,Cet-5,Jakarta:Bulan Bintang,hlm.81
[16] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,200,Bandung:PT Remaja Rosdakarya,hlm.137-138
[17] Ibid.,hlm.139
[18] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,hlm.140
[19] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm. 5-8
[20] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm. 145-152
[21] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.153-154
[22] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.158
[23] Ibid., hlm.159
[24] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.165
[25] Ibid.hlm.174
[26] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam.hlm.251
[27] Hasbi Ash-Shiddieqy  adalah salah satu pelopor atau penggerak fiqh melalui LEFISI, beliau berpendapat harus dibuatnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[28] Abdul Manan, Op.Cit..hlm.252-253
[29] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam.hlm 308
[30] Ibid,.hlm.309-310
[31] Marzuki Mubarok : Rumadi, Fiqh Mazhab Negara,hlm.125
[32] Ibid.,hlm.126
[33] Marzuki Mubarok : Rumadi, Fiqh Mazhab Negara,hlm.127
[34] Ibid,hlm.148