MAKALAH
KARAKTERISTIK
DAN PEMBARUAN
HUKUM
ISLAM
Diajukan untuk memenuhi dan
melengkapi tugas terstruktur
Pengantar Hukum Islam di Indinesia
Dosen Pengampu :
Ahmad Rofi’I,MA.,LL.M
Disusun Oleh :
AHMAD HIDAYAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN
)
SYEKH NURJATI CIREBON
MARET, 2012
MARET, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan
hukum islam terhenti karena adanya paham yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Dimasa ini masyarakat islam masih kuat anggapannya bahwa taqlid
(mengikuti pendapat ulama terdahulu) masih cukup menjawab untuk
persoalan-persoalan kontemporer, dari pada mengikuti pendapat yang orang banyak
yang khawatir salah.
Oleh karena itu,
diperlukan adanya pembaruah hukum islam dengan pertimbangan bahwa zaman
sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman imam madzhab dan fuqoha.
Pemikiran-pemikiran hukum sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kondisi
zaman sekarang, maka dari itu perlu adanya perubahan baru dalam memahami hukum
Allah untuk dipakai dalam mangatur kehidupan masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.[1]
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan pada
latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.
Bagaimana karakteristik hukum islam?
2.
Bagaimana madzhab hukum islam di
Indonesia?
3.
Bagaimana pembaruan hukum islam di
Indonesia?
4.
Bagaimana pemikiran hukum menurut Hasbi
Ashiddieqy dan Hazairin?
1.3.Tujuan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini tidak lain untuk menjelaskan rumusan masalah diatas,
sebagai berikut :
1.
Menjelaskan karekteristik hukum islam.
2.
Menjelaskan madzhab hukum islam di
Indonesia.
3.
Menjelaskan pembaruan hukum islam di
Indonesia.
4.
Menjelaskan pemikiran hukum menurut
Hasbi Ashiddieqy dan Hazairin.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1.Karakteristik
Hukum Islam
Hukum islam
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik sistem hukum
lain yang berlaku di dunia. Berbedanya karakteristik ini disebabkan karena hukum
islam berasal dari Allah SWT, bukan buatan manusia yang tidak luput dari
kepentingan individu dan hawa mafsu. Salah satu karakteristik hukum islam
adalah menyedikitkan beban agar hukum yang ditetapkan oleh Allah ini dapat
dilaksanakan oleh manusia agar dapat tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.[2]
Hasbi Ashiddieqy
mengemukakan bahwa hukum islam mempunyai tiga karakter yang merupakan ketentuan
yang tidak berubah, yakni : pertama, takamul yaitu sempurna, bulat dan
tuntas. Maksudnya bahwa hukum islam membentuk umat dalam suatu ketentuan yang
bulat, walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlainan suku, tetapi mereka
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua,
wasathiyat (harmonis), yakni hokum islam menempuh jalan tengah, jalan yang
seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan
kejiwaan dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum islam
selalu mnyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dari cita-cita. Ketiga, Harakah (dinamis), yakni hokum
islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan
dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum islam
terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memeberikan kepada manusia
sejumlah hukum yang positif dan dapat dipergunakan pada setiap tempat dan
waktu.[3]
Menurut Yusuf
Al-Qadhrawi, berpendapat bahwa karakteristik hokum islam ada sepuluh, yaitu :[4]
1.
Hukum islam itu memudahkan dan
menghilangkan kesulitan.
2.
Memerhatikan tahapan masa atau
berangsur-angsur.
3.
Turun dari nilai ideal menuju realita
dalam situasi darurat.
4.
Segala hal yang merugikan atau
kesengsaraan umat harus dilenyapkan dan dihilangkan.
5.
Kemudharatan tidak boleh dihilangkan
dengan kemudharatan.
6.
Kemudharatan yang bersifat khusus
digunakan untuk kemudharatan yang bersifat umum.
7.
Kemudharatan yang ringan digunakan untuk
menolak kemudhartan yang berat.
8.
Keadaan terpaksa memudahkan perbuatan
atau tindakan yang terlarang.
9.
Apa yang dibolehkan karena terpaksa,
diukur menurut ukuran yang diperlukan.
10. Menutup
sumber kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
Menurut Muhammad
Ali Al-Sayih, mengemukakan bahwa karakteristik hukum islam yang paling menonjol
ada tiga, yaitu tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam
pelaksanaannya, menjaga kemaslahatan manusia dan selalu melaksanakan keadilan
dalam penerapannya.[5]
Semua
karakteristik yang dikemukakan pakar ilmu hukum diatas maksudnya sama dan
berpedoman pada ayat al-Qur’sn Surat Al-A’raf : 157, yang intinya yaitu tidak
menyusahkan, sedikit beban, berangsur-angsur, ada kelonggaran, dan sesuai
dengan kemaslahatan umum.[6]
Dari uraian
diatas, berikut ini diuraikan beberapa karakteristik hokum islam, sebagai
berikut :
1.
Ketuhanan (Rabbaniyah)
Hokum islam
adalah hukum yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dunia
dan akhirat. Dalam pelaksanannya sangat memperhatikan iman, akhlak, moral dan
etika dalam seluruh aspeknya yang merupakan akibat dari karakter Rabbaniyah.[7]
2.
Universal (syumul)
Salah satu fakta
yang tidak dapat diingkari adalah bahwa hukum islam telah berlaku pada hamper
diseluruh dunia dengan kelebihannya, keragaman bangsa dan peradabannya, sesuai
dengan perubahan waktu dan zaman. Syumuliah hukum islam mencakup apa saja yang
berhubungan dengan permasalahan keluarga (al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah) seperti,
pernikahan, perceraian, nafakah, kewarisan. Selain itu juga mencakup hukum-hukum
yang berhubungan dengan perdagangan, bisnis seperti jual beli, sewa menyewa,
utang piutang, gadai, jaminan asuransi dll. Hukum islam juga berkaitan dengan
kewajiban Negara terhadap rakyat.[8]
3.
Harmonis (wasthiyyah)
Karakter
harmonis mempunyai arti yang sama dengan keseimbangan yang mempunyai arti
keimbangan diantara dua jalan yang saling berhadapan atau bertentangan, dimana
salah satunya tidak dapat berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang
lain serta tidak dapat mengambil hak yang lebih banyak melampaui yang lain.
Contohnya, spiritualisme dengan materialisme.[9]
4.
Manusiawi (insaniyah)
Makna
karakteristik ini adalah bahwa hukum islam diperuntukan untuk meningkatkan
taraf hidup manusia, membimbing dan memelihara sifat-sifat manusianya serta
menjaga dari sifat jelek, jahat hewani agar tidak dapat mengalahkan sifat kemanusiannya.[10]
Karakteristik hukum
islam yang bersifat insaniyah tiada lain adalah pengakuan Allah terhadap
kemuliaan manusia karena kemanusiaannya. Dimana karakteristik ini sebagai dasar
dalam melaksanakan hubungan internasional yang harus dilaksanakan berdasarkan
kekeluargaan dan persaudaraan. Hukum islam menganggap bahwa perhambaan terhadap
Allah dan pertalian keturunan dari Nabi Adam as dan siti hawa telah menikah
sesama manusia di dunia ini.[11]
2.2.
Mazhab Hukum Islam di Indonesia
Dinamika fiqh
Indonesia pada abad 17 dan 18 berkembang tradisi mazhab Syafi’iyah. Hal ini
dapat dipahami karena, pertama proses islamisasi di Indonesia sejak abad 12 dan
13 merupakan saat-saat dimana perkembangan hokum islam berada dalam masa krisis
dengan tertutupnya pintu ijtihad. Kedua, secara kebetulan proses islamisasi
dilakukan oleh sejarawan yang menganut mazhab Syafi’i.[12]
Pada abad 17
ternyata sangat banyak ulama mazhab Syafi’I yang berdomisili di Aceh. Hal ini
sangat terkait dengan semangat Sultan Iskandar Muda Alam Syah yang sangat
menggalakan kedatangan para ulama untuk kepentingan dakwah islamiyah di tanah
Aceh. Salah satu tokoh yang dapat di angkat adalah Nur ad-Din ar-Raniri. Karya
ar-Raniri dalam bidang fiqh adalah buku Shitah al-Mustaqim, meskipun kitab ini
bersifat polemis, namun dalam menyusunnya mendasarkan pada buku-buku Syafi’iyah
standar. Buku Syafi’iyah antara lain Minhaj ath-Thalibin,
kitab Al-Anwar, Nihayah al-Muhtaj dan lain sebagainya.[13]
Selain itu, di masa lalu waawsan para hakim peradilan di Indonesia masih
terpaku pada hokum yang terdapat dalam mazhab Syafi’I. kemudian adanya surat
edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan pada pengadilan
agama seluruh Indonesia agar para hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam
memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara berpedoman pada 13 kitab
kalangan imam Syafi’i. Tiga belas kitab
tersebut antara lain Al-Bajuri, Fathul alat Tahrir, Qulyubu/Muhalli, Fathul
Wahab, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syari’iyah Lissayid Usman bin
Yahya, Shodaqoh Dakhlan, Syamsuri Lil Faraid, Bughyatul Murthasyidin, al-fiqh
alal Muadzahibil Ar-ba’ah dan Mugnil Muhtaj. Namun karena adanya paham
kebangsaan yang menitikberatkan pada penegakan hokum yang sesuai dengan kondisi
dan situasi yang berlaku dalam suatu Negara, maka produk hokum islam yang
dihasilkan oleh Negara tidak lagi terkait kepada satu mazhab, melainkan diambil
dari pemikiran beberapa mazhab.[14]
2.3.Taqlid
dan Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia
1. Taqlid
Taqlid ialah menerima hukum yang dikumpulkan oleh
seorang mujtahiddan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara sendiri.[15]
Sebab keterpakuan terhadap mazhab terdahulu terjadi karena keterbelengguan akal
pikieran sebagai akibat hilangnya keterbatasan pikiran. Karena keterbatasan
pikiran tersebut menimbulakn pendapat para ulama yang memandang bahwa pendapat
para ulama imam mazhab sepaham dengan nash Al-Qur’an dan sunah yang tidak dapat
diubah, digugat ataupun diganti.[16]
Sedangkan secara rinci penjelasan sebab terjadinya
taqlid, sebagai berikut:[17]
·
Adanya
penghargaan dan pelestarian mazhab imam terdahulu
·
Adanya ajakan
yang kuat dari guru kepada murid untuk mengikuti mazhab yang ia anut
·
Lemahnya
pemikiran terhadap pengembangan imu
·
Tidak adanya
kesesuaian antara perkembangan akal dan perkembangan pemahaman fiqh
·
Berkembangnya
sikap yang berlebihan atau sangat fanatik terhadap mazhab imam terdahulu
·
Banyaknya
kitab-kitab fiqh.
Demikian sekitar sebab taqlid yang dijelaskan secara
rinci, namun menurut Jaih Mubarok, taqlid terjadi karena dua hal : pertama,
keterbelengguan pemikiran, sehingga para ulam lebih suka mengikatkan diri
dengan aliran fiqh tertentu, dan kedua, karena para ulama kehilangan
kepercayaan diri untuk berdiri sendiri yang didasarkan pada anggapan bahwa
ulama pendiri mazhab itu lebih jelas cerdas dan pintar daripadanya.[18]
2.
Pembaruan Hukum Islam
Pembaruan hukum
islam di Indonesia agak lamban perkembangannya dibandingkan dengan
Negara-negara islam di Timur Tengah dan Afrika Utara. Keterlambanan ini
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya masih kuatnya anggapan bahwa
taqlid masih cukup untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, disamping
banyak ulama merasa lebih aman mengikuti pendapat ulama terdahulu dari pada
mengikuti pendapat orang banyak yang khawatir salah. Oleh sebab itu, dengan
adanya pertimbangan bahwa zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman imam
madzhab dan fuqoha, pemikiran hukum sudah banyak yang tidak sesuai dengan
kondisi zaman sekarang, maka pada masa sekarang mutlak diadakan perubahan hokum
islam dengan ijtihad dan pemikiran baru dalam memahami hukum Allah untuk
dipakai dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.[19]
a). Pengertian Pembaruan Hukum
Islam[20]
Dalam literature
hukum islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan
kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi,
tarjih, islah dan tajdid. Menurut Yusuf Al-Qadhrawi, yang
dimaksud dengan pembaruan adalah
berupaya mengembalikannya pada keadaan semula sehingga ia tampil seakan barang
baru. Hal itu dengan cara memperkokoh sesuatu yang lemah, memperbaiki yang
rusak, dan menambal kegiatan yang retak sehingga kembali mendekat pada
bentuknya yang baru.
Dengan demikian,
yang dimaksud dengan pembaruan hukum islam adalah pembaruan yang dilakukan
meliputi Al-Iadah, Al-Ibanah dan Al-Ihya. Al-Iadah artinya menegmbalikan
masalah-masalah agama terutama yang bersifat khilafiah kepada sumber agama islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Ibanah adalah pemurnian ajaran agama
islam segala macam bid’ah dan pembahasan berfikir ajaran agama dari fanatic
madzhab, aliran, yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Sedangkan Al-Ihya adalah menghidupkan kembali,
menggerakan, memperbaharui pemikiran dan melaksanakan ajaran Islam.
Masalah-masalah yang
perlu untuk di perbarui adalah hal-hal sebagai berikut :
1.
Manhaj Ilahi, baik tentang aqidah,
Syariat atau akhlak untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dan
hubungan sesama manusia, agar terwujud kemaslahatan didunia dan akhirat.
2.
Fikrah atau pemikiran yang terus maju,
bukan diri Allah yang diperbarui, tetapi diri manusia, agar manusia tetap
bertambah kokoh iman dan pengamalannya.
Oleh karena itu,
dalam melakukan pembaruan hukum islam, hendaklah menjauhi hal-hal yang bersifat
Qath’I karena objek yang dapat
diperbarui adalah hal-hal yang bersifat Dzanni
saja. Karena dalam hal yang qath’I tidak
ada peluang untuk berijtihad dalam hukum yang telah ada nashnya secara jelas.
b). Faktor-Faktor Penyebab
Terjadinya Pembaruan
Menurut para
pakar hukum islam di Indonesia, pembaruan hukum islam terjadi pada saat ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :[21]
1.
Untuk mengisi kekosongan hukum karena
norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan
kebutuhan masyarakat terdapat hokum masdah yang baru terjadi itu sangat
mendesak untuk ditetapkan.
2.
Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK
sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang
belum ada aturan hukumnya.
3.
Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang
yang memberikan peluang kepada hokum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum
nasional.
4.
Pengaruh pembaruan pemikiran hukum islam
yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun
nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Untuk
mengantisipasi faktor-faktor diatas, maka perlu diadakan langkah-langkah
sebagai berikut :[22]
1.
Menggunakan kajian komperensif tanpa
mengabaikan khazanah intelektual islam klasik.
2.
Mamasukan masalah kekinian kedalam
pertimbangan pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
3.
Mengembangkan fiqih islam dengan cara
memfungsikan kembali ijtihad, sehingga menghasilkan materi hukum yang sesuai
dengan modernisasi dalam masyarakat islam.
4.
Menyatukan pendapat diantara
madzhab-madzhab tentang berbagai masalah hukum yang serupa demi kepastian hukum.
Ijtihad dalam
ruang pembaruan hukum islam, perlu dilaksanakan secra terus menerus guna
mengisi kekosongan hukum, sebab tidak mungkin ijtihad ulam terdahulu dapat
semua mencakup semua hal secara mendetail ketentuan hukum masa sekaranga.[23]
c). Peranan Ijtihad dalam Pembaruan
Hukum Islam
Peranan ijtihad
sangat besar dalam pembaruan hukum islam. Pembaruan tidak mungkin dilaksanakan
tanpa adanya mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Antar
pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipiahkan,
saling mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam
proses pembaruan islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari
proses ijtihad itu akan benar pula.[24]
Menurut Yusuf
Qardhawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk menghadapi era
globalisasi saat ini, yaitu : pertama, ijtihad inthiqa’i (tarjih)
yaitu memilih satu pendapat dari pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan
fiqh islam, kemudian mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi
sekarang ini. Kedua, Ijtihad Insya’i yaitu pengambilan kesimpulan
baru dari suatu persoalan, dimana persoalan lama ataupun persoalan baru. Dalam
Ijtihad Insyai ini diperlukan pemahaman yang baik tentang metode penentuan
hokum yang dikemukakan oleh para ushul fiqh, yaitu qiyas, mashlahah mursalah
dan lain sebagainya.[25]
d). Konsep Pembaruan
Hukum Islam di Indonesia
Langkah awal
yang dilaksanakan oleh para pembaru islam
di Indonesia adalah mendobrak paham bahwa ijtihad sudah tertutup,
membuka kembali kajian-kajian tentang hukum islam dengan metode komperensif
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Paham yang mengatakan
lebih baik bertaqlid daripada membuat hokum yang baru harus segera dihapuskan.[26]
Menurut Hasbi
Ash-Shiddieqy[27]
dalam rangka pembaruan hukum islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq
dan secara selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi negara
Indonesia. Di Indonesia dikenal beberapa pembaru hukum islam yang banyak
memberikan kontribusi dalam perkembangan hokum islam, diantaranya Hazairin,
Harun Nasution, Muhammad Natsir dan lain sebagainya. Para tokoh pembaru ini
berjasa dalam hal memasukan nilai-nilai hukum islam ke dalam legilasi dan juga
melahirkan beberapa peraturan-peraturan perundang-undangan untuk dipergunakan
oleh umat islam khususnya dan warga Indonesia umumnya. Peraturan-peraturan
perundang-undangan tersebut diantaranya Undang-Undang No.1 tahun 1974, PP No.28
tahun 1997 tentang perwakafan tanah milik, PP No.72 tahun 1992 tentang Bank
Syariah berdasarkan prisip bagi hasil.[28]
e). Peranan Kesadaran
Masyarakat dalam Menerima Pembaruan Hukum Islam
Masyarakat islam
dapat menerima kehadiran pembaruan islam sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasra syarist islam dan sesuai dengan kemaslahatan umat. Dengan
alas an banyak peristiwa baru yang harus dijawab, sedangkan peraturan
perundang-undangan tidak atau belum mengaturnya. Dan untuk membentuk kaidah
baru yang sesuai denagn situasi dan kondisi masyarakat sekarang.[29]
Bagi masyarakat
yang menolak pembaruan hukum islam dengan alasan mereka masih menganut prinsip
bahwa nash Al-Qur’an dan Hadits harus dipahami secara tekstual bukan secara
kontekstual, mereka sangat fanatik terhadap paham imam mazhab terdahulu, dan
kehati-hatian mereka menerima hukum yang baru dalam menyelesaikan suatu
masalah, sebab kalau salah berarti mendapat dosa dari Allah SWT. Terhadap
masyarakat yang belum menerima pembaruan hukum islam, kepada mereka perlu
diberi penyuluhan hukum oleh instansi yang berwenang, agar mereka mengerti
bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam kitab-kitab fiqh sudah banyak yang
tidak sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang. Kepada mereka juga perlu
diberi pengetahuan tentang hukum-hukum kontemporer, sehingga mereka paham
tentan hukum baru tersebut.[30]
2.4. Pemikiran Hukum Hasbi Ash-Shiddieqy dan
Hazairin
Cendikiawan
muslim Indonesia sejak tahun 1970-an dengan disponsori oleh Hazairin. Langkah
pertama yang dilakukan oleh Hazairin adalah berusaha mendepak teori receptie
(yang disebutnya dengan teori iblis) yang dibuat oleh colonial Belanda atas
tipu daya Snouk Hurgronje. Teori tersebut menyatakan bahwa hukum islam baru
boleh dilaksanakan untuk menyelesaikan kasus-kasus hokum kekeluargaan bagi umat
islam apabila hukum islam tersebut telah diterima oleh hukum adat. Kemudian
Hazairin berusaha meyakinkan bangsa Indonesia bahwa dengan berlakunya UUD’45,
teori receptie ini sudah terkubur secara formal dan dengan sendirinya tidak
perlu dihiraukan lagi. Teori beliau ini dinamakan teori receptie exit. [31]
Menurut Hasbi
Ash-Shiddieqy bahwa hokum islam yang sebenarnya adalah tidak lain pada fiqh
islam dan syariat islam, yaitu daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat
islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersumber pada Al-Quran dan
Hadits dan Ijma. Beliau juga mengatakan bahwa hukum islam adalah hukum yang
terus hidup, sesuai dengan undand-undang gerak dan subur. Dia mempunyai gerak
yang tetap dan perkembangan yang terus menerus, karenanya hukum islam
senantiasa berkembang dan perkembangannya itu merupakan tabiat hukum islam yang
terus hidup.[32]
Hasbi
Ash-Shiddieqy dan Hazairin adalah tohoh lokomotif pengagas fiqh Indonesia.
Sebenarnya Hasbi Ash-Shiddieqy bukan semata-mata ahli hukum, melainkan dia ahli
dalam berbagai bidang. Namun demikian, fiqh agaknya lebih menjadi perhatian
beliau. Ide pokok penomental beliau tentang fiqh adalah gagasan agar fiqh yang
diterapkan di Indonesia harus berkepribadian Indonesia atau wawasan
keIndonesiaan. Pemikiran semacam ini sebelumnya yang masi berkepribadian Arab. Jika
ulama tradisional dalam membahas hukum islam berpihak pada salah satu mazhab
secara utuh, karena menolak talkif. Hasbi secara berani menerima talkif
dan secara efektif memilih mana yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia.
Hasbi lebih berkonsentrasi pada metodologi penggalian hukum, salah satu aspek
yang kurang mendapat perhatian serius oleh para ahli hukum sebelumnya.
Sedangkan Hazairin lebih berkonsentrasi membahas materi hukum waris nasional.
Pemikiran Hasbi tentang fiqh Indonesia sebenarnya didasarkan pada konsep
maslahat.[33]
Jadi dapat
disimpulkan bahwa baik Hazairin ataupun Hasbi As-Shiddieqy sering melontarkan
pendapatnya mengenai perlunya disusun semacam fiqh Indonesia dalam bentuk
Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sebagaimana pernah berkembang di Negara lain, seperti fiqh
Hijazy, fiqh Misry, dan fiqh Iraqy.[34]
BAB
3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hukum
islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh islam dan syariat islam, yaitu
daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat sekarang ini. Dimana hukum islam mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan karakteristik sistem hokum yang lain yang ada di dunia.
Karakteristiknya yaitu takamul (sempurna), wasathiyah (harmonis), dan harakah
(dinamis). Mazhab hukum islam Indonesia banyak berkembang kepada tradisi mazhab
Syafi’I. Karena sangat fanatiknya terhadap mazhab-mazhab terdahulu
mengakibatkan terjadinya taqlid karena taqlid ini salah satu penyebab
terhambatnya proses pembaruan hukum islam agar sesuai dengan situasi dan
kondisi sekarang. Karena adanya kesadaran para cendikiawan islam, maka
muncullah penggerak pembaruan hukum islam seperti Hazairin dan Hasbi
Ash-Shiddieqy denga berbagai pemikirannya. Dalam pembaruan hukum islam ini
perlu adanya peranan ijtihad dan kesadaran masyarakat dalam menerima pembaruan
hukum islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pengantar
Hukum Islam. Cet-5.Jakarta : Bulan Bintang
Ash-Shiddiqy, Hasbi. 2001. Filsafat
Hukum Islam. PT. Pustaka Rizki Putra Semarang :
Manan, Abdul. 2006. Reformasi
Hukum Islam di Indonesia: PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Wahid,Marzuki : Rumadi.2003.Fiqh
Mazhab Negara:Kritik Atas Politik Hukum Islam Indonesia. LKiS:Yogyakarta
Mubarok,Jaih.2000.Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam.Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[1] Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, 2006, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hlm.
5-8
[3]
Hasbi Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, 2001, Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, hlm.105-108
[4]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm 64.
[5]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm .95
[6]
Ibid.
[12] Marzuki Mubarok :
Rumadi, Fiqh Mazhab Negara:Kritik Atas Politik Hukum Islam
Indonesia,2003,Yogyakarta,LKis,hlm.114
[13]
Ibid,hlm.115-116
[14]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.4
[15]
Hasbi Ash-Shiddieqy,Pengantar Hukum Islam,1994,Cet-5,Jakarta:Bulan
Bintang,hlm.81
[16]
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,200,Bandung:PT Remaja
Rosdakarya,hlm.137-138
[17]
Ibid.,hlm.139
[18]
Jaih
Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,hlm.140
[19]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm. 5-8
[20]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm. 145-152
[22]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.158
[23]
Ibid., hlm.159
[24]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, hlm.165
[25]
Ibid.hlm.174
[26]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam.hlm.251
[27]
Hasbi Ash-Shiddieqy adalah salah satu
pelopor atau penggerak fiqh melalui LEFISI, beliau berpendapat harus dibuatnya Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.
[28]
Abdul Manan, Op.Cit..hlm.252-253
[29]
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam.hlm 308
[30]
Ibid,.hlm.309-310
[31]
Marzuki Mubarok : Rumadi, Fiqh Mazhab Negara,hlm.125
[32]
Ibid.,hlm.126
[33]
Marzuki Mubarok : Rumadi, Fiqh Mazhab Negara,hlm.127
[34]
Ibid,hlm.148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar