Senin, 13 Februari 2012

ushul fiqh



MAKALAH
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi  tugas terstruktur
 Mata Kuliah  : Fiqh/Ushul fiqh

Dosen Pengampu:
Dr.H.Syamsudin,M.Ag

Disusun Oleh :

Ahmad Hidayat

FAKULTAS SYARIAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON

November 2011


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
      Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum wad’i (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh).untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) , berikut penjelasan masing-masing. Melalui makalah ini kami yang dibebani tugas untuk mengkaji materi ini akan memberikan penjelasan lebih lanjut antar mahkum fih dan mahkum alaih.

1.2 Rumusan Masalah
      Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apa yang dimaksud dengan mahkum fih ?
  2. Apa yang dimaksud dengan mahkun alaih ?
1.3 Tujuan
      Tujuan dari pembuatan makalah ini tidak lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut terhadap rumusan masalah, yaitu :
  1. Menjelaskan pengertian mengenai mahkum fih
  2. Menjelaskan pengertian  mengenai mahkum alaih

BAB 2
MAHKUM FIH

2.1. Pengertian Mahkum Fih
       Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada huku baik hukum wajib maupun hukum haram. Sebagia ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah ataupun larangan.[1]                                                                                               
      Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah Allah dalam aturan agama islam, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[2]
     Para ulama sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Da terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة) البقرة (
Dirikanlah Sholat
   Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf untuk  mengerjakan sholat, atau kewajiban mendirikan sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م (
Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
      Dalam ayat ini terkandung suatu larangan tentang perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh itu hukumnya haram.

2.2. Syarat –Syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :[3]
1) Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
     Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
2) Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Alloh SWT. Sehingga melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Allah semata.

3) Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan catatan :
  1. Tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan berdasarkan jumhur ulama, baik zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan zatnya adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin untuk dilakukan, seperti menyuruh manusia terbang tanpa sayap, ataupun untuk mengangkat gunung.  
  2. Tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk mengantikan saudaranya, atau menunaikan zakat mengantikan bapaknya. Dengan kata lain, seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan orang lain. Terkecuali dalam hal menasehati dan amar ma’ruf nahyi munkar.
  3. Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, karena hal itu berada di luar kendali manusia.
  4. Tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah, suci dalam masalah sholat.

2.3. Al-Masyaqqoh
      Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya.[4]
Masyaqqoh dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Masyaqqoh  Mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Contohnya, diwajibkannya adanya sholat ini bukan bermaksud agar badan capek atau bagaimana, akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Oleh karena itu tidak dibenarkan untuk mengutamakan menghilangkan kesulitan atau mencari-cari sesuatu yang lebih sulit, dengan sangkaan bahwa semakin sulit suatu taklif semakin banyak pahalanya. Sangkaan semacam itu bertentangan dengan hukum syara. Maka bila ada orang sengaja meninggalkan jalan yang biasa ia gunakan untuk pergi ke masjid misalnya, dan memilih jalan yang penuh dengan rintangan ia tidak dapat dibenarkan.

2. Masyaqqoh Goiru Mu’tadah
    Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan. Taklif seperti ini mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam syariat. Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan, seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun malam untuk sahur.
ير يد الله بكم اليسر و لا ير يد بكم العسر البقره
Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
(al baqoroh 185)
Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka Allah SWT pun memberikan keringanan dengan cara rukshah. Adanya rukhshah dalam hukum syara, seperti dibolehka manjama dan mengqasar jumlah rakaat dalam shalat.
2.4. Pembagian Kemampuan menurut Ulama Hanafiyah
Menurut ulama hanafiyah, kemampuan adalah tertjaganya alat untuk melakukan sesuatu sahnya syarat. Maksudnya adalah adanya perantara untukmelakukan tuntutan tersebut, seerti sehat, adanya air, dan lain sebagainya. Kemampuan menurut mereka terbagi dalam dua bagian, yaitu : mutlaq dan sempurna.[5]
  1. Mutlaq, merupakan kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk melaksanakan kewajiban, baik berupa harta ataupun lainnya. Sebagai contoh seperti, air mutlaq diperlukan untuk berwudu, orang yang sudah mampu diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji. Namun, syarat tersebut tidak harus sesuai daam keadaan wajib, seperti tidak gugur kewajiban ibadah haji, jika seseorang telah mampu, tetapi tidak melaksanakannya sampai hartanya habis.
  2. Sempurna, adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang memudahkan dalam pelaksanaan kewajiban. Hal ini biasanya berkaitan dengan masalah harta, bukan dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang merupakan kelebihan harta. Oleh karena itu, kewajiban zakat ada, apabila selama ada harta. Karena bila dipaksakan maka kewajiban zakat itu menjadi gugur dan menjadi kesulitan.
2.5. Macam-Macam Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri, dan dari segi keberadaan secara material dan syara.[6]
A)  Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam, yaitu :
1. Semata mata hak Alloh, yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. hak ini semata-mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:
  1. Ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima.
  2. Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah. Karenanya disyaratkan niat dalam zakat bagi semua orang.
  3. Bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi.
  4. Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
  5. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti hukuman orang yang berbuat zina (dera atau rajam), pencurian (potong tangan).
  6. Hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris, karena membunuh pemilik harta tersebut.
  7. hukuman yang mengandung makna ibadah seperti: kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan.
  8. Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.
2. Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak, seperti hak-hakkepemilikan, dan pemanfaatana hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh pemiliknya
3.  Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba, tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan, seperti hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak pribadi.
4. Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan, seperti masalah qishos. Hak Allah dalam masalah qishah berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak hamba adaah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi, karena dalam pelaksanaan qishah sepenuhnya diserahkan keopada ahli waris terbunuh dan mereka berhak menggugurkan hukuman tersebuit, maka hak hamba Allah di anggap lebih dominan.

B) Dari segi keberadaannya secara materil dan syara , mahkum fih dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
a.       Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara, seperti makan dan minum. Makan dan minum tidak terkait dengan hukum syara.
b.      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hokum syara, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Yaitu hukum qishah
c.       Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.


BAB 3
MAHKUM ‘ALAIH
3.1. Pengertian Mahkum Alaih
Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf.[7] Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103).[8]
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang teklah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawaban, baik di dunia maupun akhirat.
     Jadi, secara singkat kami simpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.

3.2. Syarat-Syarat Mahkum Alaih
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)[9]

3.3. Taklif
A.  Dasar Taklif
Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu unuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan padanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari syar’i. Sebagaimana sabna Nabi Muhammad SAW :
ر فع القلم عن ثلا ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنسا ئى وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب)
Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.”
(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)

B. Syarat syarat taklif
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu :[10]
  1. Orang itu telah mampu memahami kitab syar’i yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah, baik secara langsung atau melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali dengan akalpikira, karena hanya dengan akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi ada indikasi lain bahwa yang menerangkan seseorang telah berakal yaitu baligh.
  2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut ahliyah. Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidakmampu bertindak hukum,belum atau tidak bisa dipertanggung jawabkan. Maka anak kecil yang belum baligh, yang dianggap belum ,mampu bertindak hukum, tidak dikenakan tuntunan syara. Selain itu, orang yang berada dibawah kemampuannya dalam masalah harta dianggap tidak mampu bertindak hukum,karena kecakapan bertindak hukum mereka  dalam masalah harta dianggap hilang.
3.4. Ahliyyah
A. Pengertian Ahliyyah
     Secara harfiyyah (etimologi), ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
    Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari)
Dari definisi tersebut, dfapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang  menunjukan  bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya  dapat dinilai oleh syara. Orang yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hokum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Kemampuan untuk bertindak hokum tidak dating kepada seseorang dengan sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya.[11]

B. Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqh ,aliyyah(kepantasan) itu ada dua macam, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya, yaitu :[12]

1. Ahliyyah ada’
    Yaitu kecakapan bertindak hukum, bagi seseorang yang dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini  berarti bahwa segala tindakannya baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hokum. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada adalah aqil, baligh, dan cerdas.

2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya menerima hokum, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Ia juga dianggap telah berhak menerima harta waris dang anti rugi dari barang yang telah dirusak oleh orang lain.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujud adalah sifat kemanusiaan yang tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal dunia, dan akan hilang apabila seseorang tersebut telah meninggal.  Berdasarkan aliyyah wujud, anak kecil yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak pula untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali, karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:

1.    Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus i9a terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamatwalaupun untuk sesaat. Dan apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu :
a.       Hak keturunan dari ayahnya
b.      Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitannya, bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika laki-laki, maka bagiannya lebih besar dari wanita, apabila wanita, maka kelebihan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris yang lain.
c.       Wasiat yang ditunjukan kepadanya
d.      Harta wakaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama ushul menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat dan wakaf tidak harus menyatakan persetujuan untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan wakaf tidak perlu menyatakan penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang diperuntukan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.[13]


2. Ahliyyah al wujub al kamilah
       Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila. Dalam status ahliyyah wujud (baik yang sempurna ataupun tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara, baik bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun yang sifatnya tindakan hukum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan oranga lain, maka orang yang telah berstatus ahliyyah ‘ada ataupun ahliyyah wujud al-kamilah, wajib mempertanggung jawabkannya. Maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri, apabila tindakannya berkaitan dengan harta. Dan pengambilan berhak untuk memerintahkan waliuntuk mengeluarkan ganti rugi terhadapharta orang lain yang dirusak dari hartya anak itu sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya bersifat fisik rohani, seperti melukai ataupun membunuh, mak tindakan hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah wajib al-wajib belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia dianggap belum cakap untuk bertindak hukum. Maka hukuman yang harusnya menerima qishas digantikan dengan membayar diyat. Sedangkan apabila orang tersebut telah berstatus ahliyyah ‘ada, maka ia bertanggung jawab penuh untuk meneri hukuman apapun yang ditentukan oleh syara atau pengadilan. Misalnya ia diwajibkan membayar ganti rugi terhadap harta orang lain yang dirusak dan ia pun harus menerima qishah.[14]    

3.  Halangan ahliyyah
     Dalam pembahasan awal, bahwa seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah karena disebabkan oleh hal-hal berikut:[15]
1. Awaridh samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
2. Al awaridh al muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah pengampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan, mengurangi, dan mengubahnya. Oleh karena itu, para ushul fiqh membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari segi objeknya dalam tiga bentuk :[16]
·      Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertintak, seperti gila, lupa, dan terpaksa. Sabda Nabi Muhammad SAW : “diangkatkan (pembebanan hokum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.(HR.Ibnu Majah dan Tabrani)
·      Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah ‘ada, seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah ‘ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertintak hokum. Maka tindakan yang bermanfaat bagi dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dianggap batal.
·      Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hokum seseorang, seperti orang yang berutang, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ‘ada seseorang, tapi beberapa tindakan hukumnya berkaitan dengan masalah harta yang dibatasi.


BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
      Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya. Mukallaf yang telah mampu  mengetahui khitob syar’i  (tuntutan syara’) maka sudah dikenakan taklif.




DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia.
http://www.google.com//mahkum  fih dan mahkum alaih.html
http://www.google.com//ilmu ushul fiqh.html






 



[1] Rachmat Syafe’I,.Ilmu Ushul Fiqh.,Pustaka setia.,hlm.317
[2] Bardisi:II:148 dalam Rachmat Stafe’i.,hlm.317
[3] Ibid,.hlm.320
[4] Ibid,.hlm.326
[5] Ibid,.hlm.330
[6] Ibid,.hlm.331
[7] Ibid,.hlm.334
[8] http://www.google.com//mahkum fih dan mahkum alaih.htm
[10] Ibid.,hlm.336-338
[11] Ibid.,hlm.339
[12] Ibid.,hlm.340
[13] Ibid.,hlm 341-342
[14] Ibid.,hlm.342-343
[15] Ibid.
[16] Ibid.,hlm 344

Tidak ada komentar:

Posting Komentar