Senin, 13 Februari 2012

ulumul hadits


MAKALAH
HADITS SHAHIH DAN PERMASALAHANNYA

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi tugas mandiri Pengantar Studi Hadits





Dosen Pembimbing :
A.Syatory,M.Si.


Disusun Oleh :
       Ahmad Hidayat    
NIM : 14112140028

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
NOVEMBER,2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      Hadits mutawatir memberikan faidah “ yaqin bil qathi” atau positif bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan persetujuannya di hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena itu, sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu diselidiki lebih dalam identitas para perawinya.
      Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan faidah “dhanny” atau prasangka yang kuat akan penyelidikan yang seksama mengenai identitas para perawinya. Hadits ahad dibagi menjadi tiga macam, seperti hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if . Dalam makalah ini saya akan memaparkan hadits shahih dan bagaimana permaslahannya sesuai dengan tugas mandiri yang saya dapat.

1.2  Latar Belakang
      Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apa definisi dari hadits shahih ?
  2. Bagaimana klasifikasi suatu hadits shahih ?
  3. Bagaimana martabat hadits shahih ?
  4. Bagaimana permasalahan suatu hadits shahih ?

1.3 Tujuan
      Tujuan dari pembuatan makalah inintidak lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut terhadap rumusan masalah, yaitu :
  1. Menjelaskan definisi dari hadits shahih.
  2. Menjelaskan klasifikasi suatu hadits shahih.
  3. Menjelaskan martabat suatu hadits shahih.
  4. Menjelaskan permasalahan-permasalahan hadits shahih.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadits Shahih
      Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati kebenarannya oleh para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak cacat (illat).[1]
      Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit, hak lawan bathil. Menurut ahli hadits, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang-orang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah SAW, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam menerimanya.[2]
      Dalam definisi lain, hadits shahih adalah ;
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal [3]

2.2 Syarat-Syarat Hadits Shahih
      Dari definisi hadits shahih di atas, mengandung lima syarat yang harus dimiliki oleh suatu hadits agar dapat dinilai sebagai hadits shahih, yaitu :
A. Rawinya Harus Adil
     Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah (harga diri), seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada tempatnya, dan bergurau yang berlebihan.[4]
Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang adil adalah :
  • Beragama islam
  • Berstatus mukallaf
  • Melaksanakan ketentuan agama
  • Memelihara muruah (harga diri)

B.  Rawinya Bersifat Dhabit
      Dhabit adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya kembali.[5] Persyaratan ini menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.
      Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu shabri. Sedangkan, kalau apa yang disampaikan itu berdaar pada buku catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab. Dan rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqat

C. Sanadnya Bersambung
     Sanadnya bersambung maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[6] Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung  bila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.


Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung, apabila :
·         Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
·         Antara masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits.[7]

D. Tidak Ber-illat
      Maksudnya ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih. [8]

E. Tidak Janggal (Syadz)
      Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[9]
      Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para muhaditsin menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja


2.3 Klasifikasi Hadits Shahih
      Hadits shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih al-dzatih dan  shahih li ghairih, berikut penjelasannya :
1.  Hadits  Shahih Al-Dzatih
      Merupakan hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal dan rawinya berada pada tingkatan pertama. Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di atas, akan tetapi tingkatan rawinya berada pada tingkatan kedua, maka hadits tersebut dinamakan hadits hasan.
2.  Hadits Shahih Li Ghairih
     Merupakan hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi hadits li ghairih. Dengan demikian      shahih li ghairih adalah hadits yang keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih.[10]

2.4 Martabat Hadits Shahih
      Mengingat bahwa mengetahui hadits shahih pada sumber-sumber khusus yang memuat hadits shahih begitu penting, maka para ulama membagi hadits shahih menjadi beberapa tingkatan.
      Hadits shahih yang paling tinggi tingkatannya adalah yang bersanad ashatul asa’id. Kemudian beturut-turut sebagai berikut :
1.      Hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim
2.      Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari sendiri
3.      Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
4.      Hadits yang diriwayatkan oleh rawi lain yang sejalan dengan syarat        Al-Bukhari dan Muslim
5.      Hadits shahih menurut syarat selain Al-Bukhari dan Muslim, maksudnya bahwa pentakhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi atau guru-guru, seperti Al-Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan.[11] Akan tetapi hadits yang ditakhrijkan tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadits, seperti hadits Ibnu Khuzauimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Al-Hakim.
    
       Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ mengenai Ashahhul A’sanid. sebagian mengatakan, sebagai berikut :
1. Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.
2. Sebagian lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
3. Imam bukhari dan yang lain mengatakan, sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan silsilah adz- dzahab (rantai emas).

2.5 Karya-Karya yang Hanya Memuat Hadits Shahih
      Ada beberapa kitab yang akan saya paparkan dalam makalah ini, antara lain :
A. Shahih Al-Bukhari
     Kitab ini disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat perwalian). Beliau lahir pada  194 H di Kartank, suatu desa dekat Bukhara dan wafat di desa yang sama pada 256 H.             
  
      Dalam menyusun kitabnya ini, beliau bermaksud mengungkap fiqh hadits shahih dan menggali berbagai kesimpulan hukum yang berfaidah. Beliau juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai judul bab. Oleh karena itu, kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih dari awal sanad. Al-Bukhari banyak mengulang-ulang hadits di beberapa tempat dalam kitabnya yang ada hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadits tersebut.[12]

B. Shahih Muslim
     Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj Al-Naisaburi. Beliau lahir di kota Naisabur pasa 206 H dan Wafat di kota yang sama  pada 261 H.        Beliau adalah seorang imam agung dan disegani. Beliau sangat antusias terhadap sunnah dan memeliharanya. Beliau cukup lama berguru kepada dan senantiasa menyertai Al-Bukhari, dan oleh karenanya beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan Al-Bukhari.
     Kitab Musnal Al-Shahih dan disebut pula Al-Jami Al-Shahih disusun dengan metode yang berbeda dengan metode yang dipakai oleh Al-Bukhari dalam menyusunnya kitab shahihnya. Perbedaan metode penyusunan kitab ini adalah bahwa Muslim tidak bermaksud untuk mengungkap fiqh hadits, melainkan ia bermaksud untukmengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits dengan di tempat yang paling sesuai, serta menghimpun jalur-jalur dan sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan Al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap tempat ia sebutkan lagi sanadnya.[13] 

C. Shahih Ibnu Khuzaimah
     Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Beliau dikenal sangat teliti, sehingga dalam menshahihkan suatu hadits beliau menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam sanad.[14]

D. Sahih Ibnu Hibban
     Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang murid Ibnu Khuzaimah. Beliau memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa Al-Anwa’. Kitab ini disusun dengan sistematika tersendiri, tidak berdasarkan bab, juga tidak berdasarkan musnad, dan sulit untuk di ungkapkan.
     Kitab ini telah disusun kembali berdasarkan bab oleh Al-Amir Ala’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi Al-Hanafi dan diberi nama Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban.
     Kedua kitab shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban iniberisi hadits shahih menurut para penyusunnya, hanya saja para ulama tidak sepakat terhadap mereka, bahkan banyak kritik terhadap hadits mereka, disebabkan mereka terlalu mudah dalam menentukan dan memutuskan dan menshahihkan suatu hadits.[15]

E. Al – Muktharah
     Kitab ini disusun oleh Hafizh Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisi. Dalam kitab Al-Risalat Al-Musthathafah, nama kitab ini disebut         Al-Hadits Al-Jiyad Al-Mukhatarah Mimma Laisa fi Shahihain au Ahaditsina. Kitab ini hanya memuat hadits yang dapat dipakai sebagai hujjah dan termasuk kitab yang seluruh haditsnya shahih.[16] Kitab ini disusun berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam dan bukan berdasarkan bab.


2.6 Permasalahan Hadits Shahih
      Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang yang menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna. Dalam artian tingkat dlabithnya berada pada tingkat kedua (lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
      Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
     Adapun derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadist shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin (ahli Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan boleh mengamalkannya.
     Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis hadist yang bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits sahih.
    
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
      Hadits shahih adalah hadits yang dinukilkan  atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat atau cacat, dan tidak janggal.  Jadi suatu hadits dapat dikatakan sebagai hadits shahih apabila telah memenuhi lima syarat tersebut. Hadits shahih terbagi menjadi dua bagian, yaitu  shahih al-dzatih dan  shahih li ghairih. Dalam tingkatanya, hadits shahih memiliki beberapa tingkatan, dimana tingkatan yang paling tinggi adalah asatul asa’id dan seterusnya berturut-turut hadits yang baik disepakati atau diriwayatkan sendiri oleh Bukhari dan Muslim. Banyak karya-karya yang memuat shahih shahih seperti shahih al-bukhri, shahih muslim, shahih ibnu khuzaimah, shahih ibnu hibban, dan al-mukhtarah.
      Permasalahan dapat kita lihat dari syarat-syarat hadits shahih itu sendiri, seperti rawi hadits yang tidak kuat hapalannya, tidak adil, terdapat kejanggalan dan cacat yang dapat menurunkan secara otomatis tingkatan hadits shahih tersebut.


Daftar Pustaka

M.Solahudin dan Agus Suyadi. 2010. Ulumul Hadits. Bandung :Pustaka Setia
Mujiyo,Drs. 1997. Ulum Al-Hadits 2. Bandung :PT.Remaja Rosdakarya
Soetari,Endang. 2000. Ilmu Hadits;Kajian Diriwayah dan Dirayah. Bandung:  Mimbar Pustaka





[1] Drs.Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2.,PT.Remaja Rosdakarya,.h.2
[2] Ibid,.h.132 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum Hadits.Pustaka Setia,.h.141
[3] M.Solahudin dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h141
[4] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[5] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[6]‘Itr.Op.Cit,.h.2 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit,.h.143

[7] Ismail.,Op.Cit,.h.128 dalam Ibid,.Op.Cit,.h.13
[8] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.4
[9] Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan Diriyah.Bandung : Mimbar pustaka,.h.140
[10] M.Solahudin dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h.144
[11] Ibid,.Op.Cit,.h.145
[12] Endang Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.143
[13] Endang Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.145
[14] Ibid,.Op.Cit,.h.146
[15] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.20
[16] Ibid,.Op.Cit,.h.146-147

Tidak ada komentar:

Posting Komentar