MAKALAH
RESUME
MATERI PERKULIAHAN
METODOLOGI
STUDI ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi dan melengkapi tugas mandiri Metodologi Studi Islam
Dosen Pembimbing :
Prof.Dr.H.Adang Djumhur S.,M.Ag
Disusun Oleh :
AHMAD HIDAYAT
NIM : 14112140028
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN
)
SYEKH NURJATI CIREBON
DESEMBER,2011
DESEMBER,2011
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Setelah selesainya semua materi
perkuliahan dalam program studi Metodologi Studi Islam, maka saya bermaksud
untuk meresume semua materi yang sudah didiskusikan oleh para pemakalah. Selain
itu dalam remuse ini bertujuan untuk melengkapi tugas mandiri yang dibebankan
kepada saya.
1.2. Tujuan Rumusan Masalah
Untuk meresume ulang semua materi
program studi metodologi studi islam yang telah dipaparkan oleh pemakalah dari
awal pertemuan sampai akhir semester.
BAB 2
URGENSI STUDI ISLAM
2.1. Pengertian
Metode, Metodologi
Merode berasal dari bahasa yunai, meta, metedos, dan logos. Meta berarti menuju, melalui, dan mengikuti. Metodos
berarti jalan atau cara. Maka metodos (metoda) berarti jalan atau cara yang
harus dilalui untuk mencapai sesuatu. Metode merupakan langkah-langkah praktis
dan sistematis yang ada dalam ilmu-ilmu tertentu yang sudah dipertanyakan lagi
karena sudah bersifat aplikatif. Metode dalam suatu ilmu dianggap sudah bisa
mengantarkan seseorang mencapai kebenaran dalam ilmu tersebut. Oleh karena itu,
ia sudah tidak diperdebatkan lagi karena sudah disepakati oleh komunitas
ilmuwan dalam bidang ilmu tersebut.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya
berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu,
metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima (well received)
tetapi berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian
tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada
perdebatan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya
dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara
kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi bagian dari sistematika
filsafat, sedangkan metode tidak.[1]
Terkait dengan studi islam kedua kata tersebut sama
benarnya. Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seseorang ingin
membahas kajian-kajian seputar ragam metode yang bisa digunakan dalam studi
islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis,
sosiologis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenalkan
metode-metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum
menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis
bukan praktis.
Berbeda dengan metodologi studi islam, istilah metode studi
islam ketika seseorang telah menetapkan sebuah metode dan akan menggunakannya
secara konsisten dalam kajian keislamannya.
2.2. Urgensi
Mempelajari Metodologi Studi Islam
Seiring berkembangnya zaman, mempelajari metodologi studi
islam diharapkan dapat mengarahkan kita untuk untuk mengadakan usaha-usaha
pembaharuan dalam pemikiran aiaran-ajaran islam yang merupakan warisan
doktriner yang dianggap sudah mapan dan sudah mandek serta ketinggalan zaman
tersebut, agar mampu beradaptasi serta menjawab tantangan serta tuntutan zaman
dan modernisasi dunia dengan tetap berpegang terhadap sunber agama islam yang
asli, yaitu al-qur’an dan as-sunnah. Mempelejari metodologi studi islam juga
diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat islam agar
tetap menjadi muslim yang sejati yang mampu menjawab tantangan serta tuntutan
zaman modern maupun era-globalisasi sekarang ini.[2]
Disamping itu, metodologi studi islsm merupakan solusi agar
islam tidak mudah disalah pahami oleh outsider (non muslim). salah satu
penyebab seiringnya islam disalah pahami barat karena mereka tidak memiliki
instrument secara ilmiah bisa dibenarkan tidak hanya insider (muslim) tetapi
juga oleh outsider. Bila insider tidak merumuskan pemahaman yang bisa
dimengerti oleh outsider akan terus berlangsung seperti yang dialami oleh
Salman Rushdie, Kurt Wester, Goard dan Geertz Wilder yang menghebohkan itu.
1. Umat islam
saat ini pada kondisi yang problematis
Saat ini umat islam masih berada dalam posisi pinggiran
(marginal) dan lemah dalam segala bidang kehidupan sosial budaya. Dalam kondisi
ini, umat islam harus bisa melakukan gerakan pemikiran yang dapat menghasilkan
konsep pemikiran yang cemerlang dan oprasional untuk mengantisipasi
perkembangan dan kemajuan tersebut.
Dalam posisi problematis itui, jika mereka hanya berpegang
pada ajaran-ajaran islam hasil penafsirsn ulama terdahulu yang merupakan
warisan doktriner turun-temurun dan dianggapnya sebagai ajaran, maka berarti
mereka mengalami kemandegan intelektual yang pada gilirannya akan menghadapi
masa depan yang suram. Disisi lain, jika mereka melakukan usaha pembaharuan dan
pemikiran kembali secara kritis dan rasional terhadap ajaran-ajaran islam, maka
akan dituduh sebagai umat yang meninggalkan atau tidak setia lagi terhadap
ajaran islam yang dianggapnya sudah matang dan sempurna.Melalui pendekatan yang
rasional-objektif, studi islam diharapkan memberikan alternatif pemecahan
masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematis tersebut.
2. Umat manusia dan peradabannya berada dalam suasana
problematis tersebut.
Pesatnya perkembangan dan imu pengetahuan dan teknologi
modern telah membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat
manusia, yang dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan
semakin dekatnya jarak hubungan komunikasi antar bangsa dan budaya umat
manusia. Pada suasana semacam ini tentuny aumat manusia membutuhkan adanya
aturan-aturan, nilai-nilai dan norma-norma serta pedoman dan pandangan hidup
yang universal dan diakui atau diterima oleh semua bangsa. Masalahnya adalah
“dari mana sumber aturan ini dan norma serta pedoman hidup yang universal itu
diperoleh?” umat manusis dalam peradaaban dan kebudayaaan memang telah berhasil
menemukan aturan, nilai dan norma sebagai pedoman dan pegangan hidup, yang
berupa agama, filsafat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, manusia modern pun berada dalam kondisi
yang serba problematis. Harold, H. Titus dan beberapa filosofis dewasa ini,
dalam menjelaskan situasi problematis tersebut menyatakan bahwa “filosofis
sekarang telah mencapai kekuatan besar tetapi tanpa kebijaksanaan, kita hidup
dalam suatu periode yang mirip dengan tahap-tahap terakhir dari kebudayaan
Greeko-Romawi, renaissance, reformasi dan revolusi industri dimana terjadi
perubahan dalam cara manusia berfikir. Dalam hal ini peraktik, atau terjadi
perubahan-perubahan yang menyentuh kehidupan manusia dan masyarakat.
2.3. Aspek-Aspek
Metodologi Studi Islam
Antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya
hubungan yang belum serasi. Dalam bidang agama terdapat sifat dogmatis,
sedangkan dalam bidanh ilmiah terdapat sikap rasional dan terbuka. Oleh karena
itu, aspek sasaran studi islam meliputi 2 hal yaitu:[4]
1. Aspek
Sasaran Keagamaan
Kerangkka ajaran yang terdapat didalam al-qur’an dan hadits
tetap dijadikan sandaran sentral agar kajian keislaman tidak keluar dan tercerai
dari teks dan konteks. Dari aspek sasaran tersebut, wacana keagamaan dapat
ditransformasikan secara baik dan menjadikan landasan kehidupan dalam
berprilaku tanpa melepaskan kerangka normatif. Elemen dasar keislaman yang
harus dijadikan pegangan:pertama, islam sebagai dogma juga merupakan pengalaman
universal dan kemanusiaan. Oleh karena itu sasaran studi islam diarahkan pada
aspek-aspek praktik dan empirik yang memuat nilai-nilai keagamaan agar
dijadikan pijakan. Kedua, islam tidak hanya terbatas pada kehidupan setelah
mati, tetapi orientasi utama adalah sekarang. Dengan demikian sasaran studi
islam diarahkan pada pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran islam, pokok-pokok
ajaran islam sejarah islam dan aplikasinya dalam kehidupan. Oleh karena itu studi
islam dapat mempertegas dan memperjelas wilayah agama yang tidak bisa
dianalisis dengan kajian empiris yang kebenarannya relatif.
2. Aspek
Sasaran Kelimuan
Studi keilmuan memerlukan pendekatan kritis, analitis,
metadologis, empiris dan historis. Dengan demikian studi islam sebagai aspek
sasaran keilmuan membutuhkan berbagai pendekatan. Selain itu, ilmu pengetahuan
tidak kenal dan tidak terikat kepada wahyu. Ilmu pengetahuan beranjak dan
terikat pada pemikiran rasional. Oleh Karen itu kajian keislaman yang bernuansa
islamiah meliputi aspek kepercayaan normatif dogmatis yang bersumber dari wahyu
dan aspek prilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan.
2.4. Pertumbuhan
Studi Islam Dari Dahulu dan Sekarang
1. Massa Rasulullah
- Transformasi ilmu dilakukan secara lisan
- Rasul telah mengembangkan bibit pengembangan studi islam terutama tafsir dan ushul fiqih. Hadits adalah penafsiran rosul tarhadap al-qur’an yang didalamnya terdapat metode penerapan hukum.
2. Masa Pasca
Rasulullah
- Mulai muncul tradisi literer dimulai dengan pengumpulan al-qur’an (masa khulafaur rasyidin)
- Hadits juga mulai dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah kitab (masa dinasti abasiyyah). Para muhaddisin juga menyusun kriteria ilmiah bagi penerimaan hadits dengan kategori shahih, hasan dan dha’if.
- Perkembanggan studi islam mencapai puncaknya pada masa abasiyyah. Studi islam yang dikembangkan hanya meliputi ilmu normatif islam yang bersumber pada teks agama.
3. Studi
Islam di Dunia Barat
- Kajian barat terhadap islam memunculkan orientalisme, yaitu kajian tentang ketimuran. Kajian awal yang dilakukan orientalisme yang diselenggarakan diperguruan tinggi dibarat memandang umat islam sebagai bangsa primitive.
- Kajiannya difokuskan pada al-qur’an dan pribadi nabi Muhammad secara ilmiah yang hasilnya menyudutkan ajaran dan umat islam.
- Pendekatan yang digunakan para orientalis bersifat lahiriah (eksternalisasi). Agama islam hanya dipandang dari sisi luarnya saja menurut sudut pandang barat.
BAB 3
RUANG LINGKUP STUDI ISLAM DAN PENDEKATANNYA
3.1 Ruang Lingkup Studi Islam
Studi
islam merupakan suatu disiplin ilmu yang ruang lingkup
studi keislaman dalam tradisi sarjana barat meliputi pembahasan tentang ajaran,
pemikiran, teks, sejarah
dan institusi keislaman.
Dalam prosesnya, usaha studi islam mencerminkan suatu transmisi doktrin-doktrin
keagamaan dari generasi ke generasi, dengan menjadikan tokoh-tokoh agama mulai
dari Nabi Muhammad SAW sampai ke ustads dan para da’i sebagai sentral yang
hidup. Secara kelembagaan, proses ini berlangsung diberbagai institusi, mulai
dari keluarga, masyarakat, masjid, madrasah, dan pesantren. Disamping proses
transmisi, studi islam juga merupakan usaha bagi para pemeluk agama untuk
memberikan respon, baik terhadap ajaran, ideologi, atau pemikira dari luar
agama yang diyakininya.[5]
Studi islam tidak hanya melibatkan aspek
kognitif ( pengetahuan tentang ajaran-ajaran islam ), tetapi juga aspek afektik
dan psikomotorik ( menyangkut atas bagaimana sikap dan pengamalan atas ajaran
islam ). Studi islam sekarang cenderung berkembang diberbagai wilayah, tidak
saja dikalangan dunia islam, namun juga dikalangan sarjana non muslim. Menurut
sarjana barat, studi islam adalah tradisi barat dalam mengkaji dan meneliti
islam, sehingga menghasilkan pemikiran dan pemahaman tentang islam.
Studi islam yang dilakukan oleh para
sarjana barat lebih mengarah pada sikap kritis terhadap islam dan peradabannya.
Mereka menyadari akan pentingnya menatap dunia islam. Mereka melihat islam
lebih di dasari atas pencarian kelemahan islam dan sebaliknya mereka ingin
menonjolkan Kristen sebagai agama mereka yang paling absah menurut keyakinan
mereka. Tidak mengherankan jika hasilnya sangat subyektif dan melukai perasaan
umat islam.
Sejalan dengan majunya perkembangan ilmu,
berkembang pula pendekatan yang digunakan dikalangan para sarjana terhadap
islam. Perkembangan ini berdampak pada makin luasnya ruang lingkup studi islam
dilihat dari berbagai disiplin ilmu, seperti munculnya antropologi, sosiologi,
psikologi, dan ilmu social lainnya menambah khazanah studi islam. Disamping
itu, studi islam tidak lagi terpokus pada wilayah Timur Tengah, melainkan
berkembang merambah pada wilayah asia tenggara, seperti : Indonesia, Malaysia,
Thailand,
Singapura, Filiphina, dan Brunei Darussalam.[6]
3.2 Aspek Ajaran
Studi Islam
A.
Aqidah/ Iman
Islam adalah jalan hidup yang menentukan
tingkah laku kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Agar kaum muslimin
menyadari betapa pentingnya keterikatan dengan hukum syara, cenderung hidup
hanya untuk islam dan berjuang untuk menyebarluaskan islam.
Firman Allah dalam Alquran surat Ali Imran ayat 200,
yang berbunyi :
“
Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu da
tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu beruntung “
B.
Syariah/ Islam
Islam dibangun atas lima dasar, yakni rukun islam. Rukun islam
merupakan tiang-tiang penyangga bangunan keislaman seseorang. Di dalamnya
terdapat hukum-hukum islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. “
sesungguhnya islam itu dibangun atas lima
perkara: bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan ramadhan, dan
menunaikan ibadah haji.
Rukun islam merupakan landasan dari rukun
iman. Belum dikatakan beriman seseorang jika hanya dengan mengerjakan rukun
islam tanpa ada usaha untuk menegakannya. Rukun islam merupakan pelatihan bagi
orang mukmin yang mengharap ridho Allah.
C.
Akhlak / ihsan
Ihsan dapat diartikan sebagai sebuah
ketekunan. Tekun dalam bekerja, baik dalam pergaulan, semuanya adalah cermin
akhlak islam. Aplikasi islam dalam dalam kehidupan sehri-hari sangat banyak,
seperti ihsan dalam berbicara.
Allah berfirman dalam surat Al-Isra, yang berbunyi :
“
Dan katakanlah kepada hamba-hambaku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang lebih baik “.
3.3 Pendekatan
Studi Islam
Istilah
“pendekatan” merupakan kata terjemahan dari bahasa inggris, approach. Maksudnya
adalah suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landsan sebuah studi penelitian yang
bertujuan untuk memperoleh hasil dan mencapai tujuan.[7] Ada beberapa pendekatan yang
digunakan dalm studi islam, antara lain : Pendekatan Teologis, Pendekatan
Antropologis, Pendekatan Sosiologis, Pendekatan Sosiologis, Penndekatan
Filosofis, Pendekatan Historis, Pendekatan Politis, Pendekatan Ekonomis dan
lain sebagainya.[8]
A.Pendekatan
Teologis
Pendekatan Teologis merupakan upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu ketuhanan yang bertolak dari
suatu keyakinan dari suatu agama dianggap sebagai yang paling benar disbanding
dengan yang lainnya.[9]
Pendekatan teologi dalam pemahaman
keagamaan adalah pendekatan yang
menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing
mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainya salah. Aliran
teologi yang satu begitu yakin dan fanatic bahwa pahamnyalah yang benar
sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang bahwa paham yang lainnya
salah, sehinnga memandang bahwa paham orang lain itu sesat, kafir, murtad.[10]
Dengan demikian antara satu aliran dan
aliran lainnya tidak terbuka atau tidak saling menghargai, yang ada hanyalah
ketertutupan, sehingga terjadi adalah suatu pemisahan.
Saat ini muncul apa yang disebut dengan
istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia memahami penghayatan
imannya atau penghayatan agamanya, suatu sumber-sumber aslinya dan tradisinya.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya.
Terlihat bahwa pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung
bersikap tertutup, tidak ada dialog, saling menyalahkan, saling mengkafirkan,
tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya
kepedulian social. Dengan
pendekatan demikian, maka agama cenderung hanya merupakn keyakinan dan
pembentuk sikap keras dan Nampak a social. Melalui pendekatan teologi ini agama
menjadi buta terhadap masalah-masalah social dan cenderung menjadi lambang atau
identitas yang tidak memiliki makna.[11]
Dari uraian di atas terlihat bahwa pendekatan teologi dalam memahami
agama menggunakan berfikir deduktif , yaitu cara berfikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlaq adanya, karena ajaran berasal dari
tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan melainkan diperkuat
argumennnya.[12]
Pendekatan teologi memiliki kekurangan dan
kelebihan. Kekurangannya adalah tidak mau mengakui kekurangan agama
lain,sehingga perlu adanya proses sosiologis untuk mengatasinya. Sedangkan
kelebihannya adalah melalui pendekatan teologi, seseorang dapat sikap militansi
terhadap agama, yakni berpegang teguh terhadap agama yang diyakininya sebagai
yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan ini
seseorang akan mempunyai sikap fanatik terhadap agama yang dianutnya.[13]
B.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.[14] Melalui pendekatan ini agama
Nampak lebih dekat dengan masalah yang dihadapi manusia dan berupa menjelaskan
dan memberikan jawabannya.
Denganpendekatan antropologis kita melihat
bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi
masyarakat. Dalam hubungan ini, maka kita ingin mengubah pandangan dan sikap
etos kerja dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Melalui penekatan ini juga, kita dapat
melihat hubungan antara agama dan Negara. Misalnya membandingkan Negara
Republik Indonesia,
yang mayoritas pendudukanya agama islam, tetapi menjadikan pancasila sebagai
dasar negaranya.[15]
Dengan demikian pendekatan antropologis
sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama
tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu
antropologis.
C.
Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan,serta dengan gejala
social.[16]Pendekatan sosiologis sangat
penting dalam memahami agama, karena dalam ajaran agama banyak yang berkaitan
dengan masalah social. Ilmu-ilmu social mendorong pemeluknya untuk belajar
memahami agamanya.
Dalam ajaran islam, bahwa ibadah
mengandung segi kemasyarakatan disbanding ganjaran ibadah perorangan, terutama
dalam hal shalat. Bili kita tidak mampu mengerjakan puasa pada bulan ramadhan
dikarenakan suatu hal, misal orang tua yang tak mampu puasa, maka ia diwajibkan
membayar fidhyah dalam bentuk memberikan makan kepada orang miskin. Dari segi
ini kita dapat melihat proses sosialnya.
Melalui pendekatan sosiologis agama akan
dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu diturunkan umtuk kepentingan
social. Dalm al-quran banyak terdapat ayat-ayat yang berkenaan tentang hubungan
manu8sia dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menjadikan kemakmuran suatu
bangsa. Semua itu dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui ilmu
sosialnya.
D. Pendekatan
Filosofis
Filsafat adalah berfikir secara mendalam,
radikal, sistematik, universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah
atau hakikat dalam mencari suatu jawaban. Mendalam artinya dilakukan semaksimal
munkgkin hingga batas akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar
permasalhan hingga tidah tersisa lagi. Sistematis artinya dilakukan secara
teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu. Universal artinya tidak
dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi menyeluruh.[17]
Berfikir secar filosofis dapat digunakan
dalam memahami ajaran islam, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari
agama dapat dimengerti dan dipaham secara seksama. Ajaran agama misalnya
mengajarkan agar melaksanakan salat berjamaah. Tujuannya antara lain agar
seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan
mengerjakan puasa agar kita merasakan lapar dan menimbulkan rasa iba kepada
sesama yang hidup serba kekuranngan.[18]
Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistic,
yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak dapat makna apa pun,
kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan hanyalah pengakuan formalisti, misalnya
sudah menunaikan ibadah haji, tapi mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung di dalamnya.
E.
Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu
yang di dalamya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat,
waktu, obyek, dan pelaku peristiwa.[19]
Pendekatan sejarah sangat penting dalam
memahami agama, karenaagama itu turun dalam situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi social masyarakat. Kita mengenal banyak kosep, baik
konnsep abstrak maupun konsep konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat,
merupakan suatu konsep abstrak. Sementaraitu dibutuhkan suatu konsep konkret
seperti: tentang dhua’fa (orang lemah), orang kafir, penguasa, serta
koruptor-koruptor. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk
memahami dan memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan tentang suatu peristiwa.
F. Pendekatan Psikologis
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang
mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati. Menurut
Zakiah Darajat, bahwa perilaku seseorang yang Nampak lahiriyah terjadi karena
pengaruh keyakinan yang di amutnya. Seseorang ketika berjumpa saling
mengucapkan salam, hormat kepada orang tua merupakan gejala keagamaan yang
dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa. Dalam ajaran agama islam banyak kita jumpai
istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap
beriman dan bertaqwa kepada Allah, sebagai orang saleh, itu gemerupakan
gejala-gejala yang berkaitan dengan agama.
BAB 4
STUDI AL-QURAN DAN HADITS
4.1.
AL-QURAN[20]
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara
etimologi, kata Al-Qur’an mengandung arti bacaan yang dibaca. Lafadz Al-Qur’an
berbentuk Isim Masdar dengan
Isim Maful Lafadz Al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya dapat dilihat pada
Firman Alloh pada Surat Al-Qiyamah:17,Artinya:“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilahmengumpulkannya (di dalamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya.
Menurut pendapat yang peling kuat, seperti yang dikemukakan oleh Subhi
Sholih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan turunan (masdar) dari kata
Qara’a (fiil madli) dengan arti isim al Maf’ul, yaitu maqru’ yang artinya
dibaca-baca.
Bertolak
dari analisa pandangan beberapa tokoh atau Ulama’ dalam mengartikan Al-Qur’an
secara Terminologi, kiranya dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalamulloh
yang mu’jiz, yang turunnya
kepada Nabi Besar Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam,
dengan melalui Malaikat Jibril, dengan
lafadz Arab, yang ditulis dalam Mushaf
yang membacanya sebagai suatu ibadah, dan diriwayatkan secara Mutawatir.
B. Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan kitab Suci yang didalamnya sudah si jelaskan sistem perekonomian,
Politik, Sosial, Budaya, Ilmu Pengetahuan dan seterusny, sehingga tidak ada
suatupun yang terlupakan olehnya. Hal ini di dasarkan pada Al-Qur’an Surat
Al-Maidah ayat 3 :
Artinya
: Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Alloh, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelihnyadan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Alloh
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat-ayat
di atas dan yang senada dengannya memang dapat diartikan bahwa Al-Qur’an adalah
kitab yang sempurna isinya dalam arti tidak ada sesuatupun yang dilupakan dan
segala-segalanya telah dijelaskan dalam isinya. Berikut ini adalah perkiraan
komposisi ayat Al-Qur’an dan isinya. Al-Qur’an-Al-Qur’an yang memuat ketentuan
tentang Iman, Ibadah, dan hidup kemasyarakatan kurang lebih hanya ada 500 buah
ayat atau 8 prosen dari keseluruhan Ayat Al-Qur’an. Dari sejumlah itu,
ayat-ayat mengenai ibadah ada 140, dan tentang hidup kemasyarakatan ada 228
ayat, dan kemudian sisanya berisi tentang keimanan.
C . Otentisitas Al-Qur’an
Janji
Alloh untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an. Penggalan ayat “Wa Inna Lahu Lafaidhun” mengandung
dua pengertian penting terkait dengan pemeliharaan Al-Qur’an. Pertama, secara
bahasa susunan kalimat semacam ini memiliki kaedah makna “istimror” yakni terus
menerus; kedua, dipergunakan kata “innd” sebagai kata ganti bagi Alloh dalam
penggalan ayat itu menunjukkan perlunya keteribatan manusia (selain Alloh)
dalam pemeliharaan Al-Qur’an itu. Atas
dasar kedua hal ini dapatlah dipahami bahwa Alloh senantiasa menjaga otentitas
al-Qur’an sampai akhir zaman. Hanya saja dalm aktivitas pemeliharaannya itu,
Alloh menuntun kepada manusia agar ikut berperan aktif di dalamnya.
Dengan
adanya jaminan setegas ini maka setiap muslim percaya betul dan wajib percaya,
bahwa apa yang dibaca dan didengarkan sebagai Al-Qur’an seperti ini tidak
berbeda sedikitpun dengan Al-Qur’an yang pernah dibaca oleh Rosululloh dan
didengar serta dibacanya oleh para Sahabat Nabi. Inilah makna sebenarnya dari
otentitas Al-Qu’an.
D. Posisi Al-Qur’an dalam Studi Keislaman
Dikalangan
umat Islam, bahwa Al-Qur’an adalah landasan pokok bagi Syari’ah Islam. Darinya
diambil segala pokok-pokok Syari’ah dan cabang-cabangnya, dari padanya di ambil
dalil-dalil syar’i. Dengan demikian Al-Qur’an adalah landasan pokok (kully) bagi Syari’ah islam dan
pengumpul segala hukumnya sebagaimana firman Alloh dalam Surat Al-An’am ayat
38.
Selanjutnya
karena Al-Qur’an merupakan sumber utama , makan para Ulama harus terus mernerus
berusaha untuk mempelajarinya dan menggalinya dengan melakukan ijtihad untuk mengeluarkan
hukum-hukum dari ‘ibarat-‘ibarat,
isyarat-isyarat, dzahir, dan nash
Al-Qur’an. Sebagaimana mereka bersungguh-sungguh mencari jalan menakwilkan
ayat-ayat mutasyabih,
mentafsilkan ayat-ayat yang mujmal,
menerangakan yang belum jelas, serta menerangkan mana yang dikatakan ‘am, nasikh, mansukh dan sebagainnya.
Dengan
demikian, Al-Qur’an dalam kerangka urutan dalil-dalil atau hukum atau sumber
ajaran islam adalah menempati kedudukan yang paling tinggi. Dalam kaitan ini,
maka Al-Qur’an mempunyai fungsi dasar pokok, yaitu sebagai alat kontrol atau
alat ukur menganahi apakah dalil-dalil hukum yang lebih rendah sesuia atau
tidak dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an
E. Fungsi Al-Qur’an
Dari
sudut isi atau subsitansinya, funsi Al-Qur’an sebagai tersurat dalam
nama-namanya adalah sebagai berikut :
a.Al-Huda (petunjuk)
b.Al-Furqon (pemisah)
c.Al-Syifa’ (obat)
d.Al-Mu’izhah (nasihat)
e.Al-Qur’an Sebagai Sistem Nilai
Keberagaman
penafsiran ini merupakan perwujudan dari watak dasar yang dibawa oleh
Al-Qur’an, terbuka terhadap keragaman penafsiran (interpretable) atau qobil An-Niqash dalam
pemaknanya.Watak dasar Al-Qur’an yang menimbulkan keberagaman penafsiran di
atas digambarkan oleh Abdullah Darraz dengan, “Bagaikan Intan yang setiap
sudutny memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain
memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.
4.2 . HADIST[21]
Hadist sebagai sumber sumber ajaran Islam yang ke-dua
setelah Al-Qur’an, telah menjadi perhatian khusus dikalangan para intelektual
Muslim ataupun Barat (Orientalis) terutama perdebatan mereka tentang
keotentikan Hadist-hadist nabi yang menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok
penentang Hadist (Inkarussunah).
A . Ilmu Hadist
Ilmu
Hadits merupakan ilmu pengetahuan yang ke-dua setelah ilmu al-Qur’an yang mesti
diketaui oleh setiap insan muslim. Berpegang kepada kedua sumber ilmu
pengetahuan islam yang paling mendasar ini merupakan cara islam menyelamatkan
diri dari tersesat yang salah.
Mempelajari
al-Qur’an tidak bisa terlepas dari perhatian terhadap Ilmu Al-Hadist terutama
sekali tentang ayat-ayat tasy-ri’ dan Qodho. Mempelajari Al-Hadist memelukan
perhatian yang sangat teliti. Hal ini disebabkan berbagai asalan
a).Al-Hadist
sebagai sumber Syari’ah yang kedua merupakan sumber ajaran yang
lahir dari seseorang manusia, tidak lahir seperti Al-Qur’an, yang selalu
dicatat
oleh sahabat rosul setiap kali muncul.
b).Al-hadist sampai kepada kita
melalui proses periwayatan para sahabat, tabi’in
dan seterusnya, dalam kadar keperibadian yang berbeda-beda ditinjau dari
kriteria para ahli ilmu hadist.
c).Al-Hadist
sampai kepada kita lewat kurun waktu yang tidak terlepas dari
sejarah peradapan manusai yang tidak punya jaminan untuk tegaknya
kebenaran.
B . Pengertian Hadist
a).Melalui pendekatan kebahasaan (Linguistik)
Melalui
pendekatan kebahasaan hadist berasal dari “Hadatsa –yuhdistu- hadtsan- wa hadi-tsan” kata tersebut
mempunyai arti yang bermacam-macam, yaitu :
1. Aljadid minal Asya
: artinya sesuatu yang baru. Kata tersebut lawan dari kata al-qodim artinya sesuatu yang telah
lama, kuno, klasik. Pengunaan dalam arti demikian kita temukan dalam ungkapan
hadits albina dengan arti jadid al bina artinya bangunan baru.
2. Al-khobar : artinya
maa ya kaddasa bihi wayaqol,
artinya sesauatu yang dibicarakan atau diberitakan dialihkan dari seseorang ke
orang lain.
3.Al-Qorib artinya pada waktu yang dekat, pada waktu yang singkat,
pengertian ini digunakan pada ungkapan qorib
al-‘ahd bi a- islam yang artinya orang yang baru masuk islam.
Ada
sebagian ulama yang menyatakan adanya arti “baru” dalam kata hadits kemudian mereka menggunakan
kata tersebut sebagai lawan kata qodim
(lama) dengan maksud qodim
sebagai kitab Alloh, sedangkan yang “baru” yaitu apa yang didasarkan kepada
belia nabi muhammad sholalloohu
‘alaihi wa sallam. Syaikh islam ibnu hajar berkata : “Yang dimaksud
dengan hadits menurut
pengertian syara’ adalah apa
yang disandarkan kepada nabi sholalloohu
‘alaihi wa sallam, dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al qur’an adalah qodim yang dimana terdapat di dalam syarah al bukhori.
b. Melalui pendekatan Istilah (terminologis)
Selanjutnya
kata hadist dari segi istilah (terminologi) di temukan pendapat yang berbeda.
Hal ini disebabkan berbedanya cara memandang yang digunakan oleh masing-masing
dalam melihat sesuatu masalah :
1.Para ulama hadist misalnya
mengartikan bahwa hadist adalah ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam.
2.Sementara ulama hadist lain
seperti Atthibi berbeda, bahwa hadist bukan hanya perkataan, perbuatan serta ketetapan
rosullulah akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat
dan tabi’in.
3.Ulama ahli usul fiqh mengartikan
hadist dalam perkataan perbuatan serta ketetapan rosulullah yang berkaitan
dengan hukum.
4.Ulama ahli fiqih mengidentikan
hadist dengan sunnah yaitu sebagai salah satu hukum taklifi, bila dikerjakan
dapat pahala bila ditinggalkan tidak apa-apa.
Para
Muahadditsin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapatnya
dalam menta’rifkan al hadits.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan
luasnya obyek peninjauan mereka masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan
mereka itu melahirkan dua macam ta’rif
al hadits, yaitu : pengertian
yang terbatas di satu pihak dan pengertian yang luas di pihak lain.
Ta’rif
atau pengertian yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh jumhurul
muahadditsin, yaitu :
“Ialah
sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad sholalloohu ‘alaihi wa sallam,
baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya”.
Dari
pengertian diatas terdapat empat macam unsur yakni :
a.Perkataan
yaitu perkataan yang pernah beliau Nabi Muhammad Sholalloohu ‘Alaihi Wa Sallam ucapkan dalam berbagai bidang,
seperti bidang hukum (Syari’ah),
akhlaq, ‘aqidah, pendidikan dan sebagainya. Sebagaimana contoh perkataan beliau
yang mengandung hukum Syari’ah, misalnya sabda beliau :
“hanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap
orang itu memperoleh apa yang ai niatkan .... Dan seterusnya”.
b.Perbuaatan
yaitu perbuatan Nabi Muhammad Sholllaooohu
‘Alaihi Wa Sallam, merupakan penjelasan praktis terhadap
peraturan-peraturan Syari’ah
yang belum jelas cara pelaskanaannya.
Perbuatan
beliau dalam masalah cara bersholat dan cara berhadap kiblat dalam sholat di
atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh nabi dengan
perbuatan beliau di hadapan para sahabat. Dapat kita ketahui berdasarkan berita
dari sohabat Jabir RA. Yaitu :
“Dulu
rodululloh sholalloohu ‘aliahi wa sallam bersabda di atas kendaraan (dengan
menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak sholat
fardu, beliau sebentar, terus mengahdap kiblat”.
c.Taqrir ialah
keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang
telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contoh
taqrir nabi tentang perbuatan
sahabat dalam acara jamuan makan, menyajikan makanan daging biawak dan
mempersilahkan kepada nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Beliau
menjawab :
“Tidak (maaf)
berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya !”
Kata kholid : “segera aku memotongnya dan
memakannya sedang rosulullooh sholalloohu ‘alaihi wa sallam, melihat kepadaku”.
d.Sifat-sifat, keadaaan-keadaan dan himmah (hasrat) Rosulullah Sholallohu
‘alaihi wa sallam.
Secara
terminologi al Hadits menurut
Muhadditsin (ahli hadist),
sinonim dengan sunnah. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil
dari Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa
sallam sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rosul akan tetapi bila
disebut kata hadits, umumnya
dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul setelah kenabian,
baik serupa sabda, perbuatan
maupun taqrir.
Hadits
dan sunnah merupakan dua hal yang identik. Keduannya sehingga sering digunakan
secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi Sholallohu ‘alahi wa
sallam. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan sunnah
dan hadits merupakan dua hal yang berbeda.
C. Pengkelompokan Hadist Berdasarkan
Jumlah Perawi
1.Hadist Mutawatir
Hadist
Mutawatir adalah suatu hadist hasil tanggapan dari panca indera yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat dusta. Dengan adanya pengertian ini dapat
difahami bahwa syarat untuk menentukan hadist mutawatir yaitu hadist diterima
berdasarkan tanggapan panca indra, jumlah perowinya harus mencapai ketentuan
yang tidak mungkin mereka bersepakat bohong.
Pendapat
lain Hadits Mutawatir secara terminologi hadits yang diriwayatkan oleh rowi
yang banyak dan tidak mungkin mereka mufarokat berbuat dusta pada hadits itu,
mengingat banyaknya jumlah mereka.
2.Hadist Ahad
Hadist
Ahad adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan seorang. Haidts
Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua perowi, hadits Ahad ini
tidak memenuhi hadits mutawatir ataupun masyhur. Hadits ini tidak sampai pada
jumlah periwayatan hadits mashur. Imam syafi’I menyebut hasits ini dengan
istilah khusus, yaitu khobar al khas. Yang mana hadist ini dikelompokkan oleh
ahli hadist menjadi tiga bagian yaitu hadist Masyhur, Hadist ‘Aziz dan Hadist
Ghorib.
3.Hadits Masyhur
Yaitu
hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua perowi namun tidak mencapai
batas mutawatir.
D . Pembagian Hadist Berdasarkan
Dasar Alasan Berhujjah
1.Hadits Shohih
yaitu hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal. Maksud dari adil
yaitu selalu berbuat taat, menjahui dosa – dosa kecil, tidak melakukan perkara
yang menggugurkan iman.
2.Hadits Hasan, yaitu hadits yang dibnukikan oleh orang adil (tapi)
tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya yang tidak terdapat
ilat serta kejanggalan dalam matannya.
3.Hadits Dha’if
yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shohih ataupun syarat-syarat
hasan.
4.Hadits Qutsiy
sinonim dengan hadits Ilahiy yaitu setiap hadits yang mengandung sandaran
Rosululloh saw. kepada Alloh swt. Perbedaan antara hadits Qudsiy dan nabawi
yaitu bahwa hadits Nabawi yang terakhir dinisbatkan kepada Rosul saw. dan
diriwayatkan dari beliu, sedangkan hadits Qudsiy dinisbatkan kepada Alloh swt.
E. Sejarah Pertumbuhan Hadist dan
Perkembangannya
Hadist
pada awal sejarahnya pernah dilarang untuk ditulis oleh para sahabat nabi. Hal
ini dilakukan Nabi semata untuk memelihara Al-Qur’an agar tidak tercampur baur
dengan Hadist. Karena pada masa itupun Al-Qur’an masih belum terhimpun pada mushaf.
Perjalanan Hadist melewati pase-pase yang spesifik yaitu :1.Fase Penulisan dan
Pentadwinan
Pada
permulaannya hadist hanya boleh diriwayatkan secara lisan bahkan Rosululloh
sendiri mengingatkan sahabatnya untuk tidak menuliskan hadist bahkan kalau sudah
terlanjur harus dihapus.
Dari
penjelasan diatas dapat memberikan penegasan akan berbagai hal sebagaimana
berikut : 1. Penulisan al-Qur’an tidak boleh tercampur aduk dengan al-Hadist,
2. Periwayatan Hadist pada masa itu hanya boleh dengan lisan dan 3. Orang tidak
boleh membuat hadist palsu.
2.Hadist Pada Masa Kholifah Abu
Bakar dan Umar
Upaya
mengembangkan penulisan Hadist pada masa ini tidak banyak, karena konsentrasi
Kholifah pada masa itu terarah pada masayrakat muslim yang mulai memudar dengan
wafatnya Rosululloh, bahkan ketika Kholifah Umar mengusulkan penulisan
Al-Qur’an kedalam Mushaf, Kholifah Abu Bakar tidak langsung menerima usulan
tersebut dengan alasan bahwa itu adalah
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rosul.
Kondisi
semacam itu membuat posisi Hadist tidak berada pada perioritas perhatian Kholifah
Abu Bakar dan Kholifah Umar
3.Hadist Pada Masa Kholifah Usman
dan Ali
Pada
masa ini alhamdulillah muali menjadi perhatian sahabat dan tabi’in untuk
dikumpulkan, karena keadaan para penghafal Hadist sudah tersebar diberbagai
penjuru wilayah kekuasaan Islam dan keadaan hadist tersebar di pelosok-pelosok
Negeri Islam.
4.Hadist Mengalami Pemalsuan
Pada
masa inilah kehawatiran Abu Bakar dan Umar bin Khotob menjadi kenyataan.
Kalangan Syi’ah disinyalir banyak mengunakan Hadist palsu untuk kepentiangan
politik. Dan hal seperti ini terus berkembang sampai kepada akhir abad pertama
Hijriyyah. Oleh karena itu Kholifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad kedua
Hijriyyah muali menaruh perhatian akan keberadaan Hadist yang demikian.
5.Hadist Pada Masa Ulama
Muta-Akhirin Mualai Abad IV H. s/d Masa Kini
Abad
ke-4 adalah adad pemisah pengertian Ulama hadiost Mutawoddumin dan Ulama hasit
Mutaakhirin. Mereka oleh Muhaddistin berikutnya dipandang Ulama senior yang
mereka juluki dengan penghormatan “Ulama Mutaqoddumin”. Sedangkan Ulama hadist
berikutnya mereka berikan predikat “Ulama Muta-Akhirin”.
Par
Ulama Muta-Akhirin melakukan usaha penulisan hadist dengan cara menuqil
(memindahkan) hadist dari kitab-kitab yang disusun oleh Ulama Mutaqoddimin.
Kitab-kitab Muta-Akhirin ini lebih cebnderung kepada teknik penulisan antara
lain ada yang cenderung menampilkan Hadist-hadist hokum.
F . Kedudukan Hadist Dalam Ilmu Ke
Islaman Lain.
Al-Hadist
adalah sumebr pengetahuan Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Dasar pemikiran
tersebut tertumpu pada berbagai alsan anatara lain :
a.Penegasan Alloh tentang perintah
mentaati rosul secara penuh
b.Kedudukan Hadist sebagai wahyu
Idhofy
c.Para Shahabat sepakat
menjadikan hadist sebagai nara sumber
dalam menetapkan fatwa atau Ijtihad, dan pelaksanaan qodho diantara mereka.
Dari
segi kaitan Fungsinya terhadap Al-Qur’an hadist dapat ditetapkan :
a.Sebagai Mubayyin (penjelas)
terhadap apa yang secara umum telah diungkapkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana
hadist tentang cara melakukan sholat dan Manasik Hajji.
b.Dalam berbagai hal yang Al-Qur’an
telah memberikan keterangan baik secara rinci maupun secara Ijma’, hasit
merupakan sumber Hukum yang berdiri sendiri
c. Hadist sebagai dasar hukum melakukan Ijtihad
G . Unsur-Unsur Hadist
Ada
beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam hadits diantaranya yaitu :
a. Rowi yaitu orang yang
menyampiakan menuliskan suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan
diterimanya dari seorang gurunya.
b. Matnu’l Hadits yaitu pembicaraan
(kalam) atau materi berita yang di over oleh sanad yang terakhir, baik
pembicaraan itu sabda Rosululloh saw. sahabat ataupun tabi’in.
c.
Sanad yaitu jalan yang dapat menghubungkan materi hadits kepada Junjungan kita
Nabi Muhammad saw.
BAB 5
STUDI PEMIKIRAN
ISLAM KALAM
5.1. Definisi Ilmu Kalam
Ilmu
kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah, sifat-sifat
Tuhan yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat
yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk
menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya dan
sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya).Ahmad Hanafi berpendapat bahwa ilmu
kalam juga dinamakan ilmu aqaid atau ilmu Ushulludin. Hal ini dapat dimengerti,
karena persoalan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang
menjadi pokok pembicaraannya.
Ilmu
kalam berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan menggunakan
dalil-dalil fikiran dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya. Ilmu ini
dinamakan ilmu kalam, karena :
1.
Persoalan yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan hijrah ialah “firman
Tuhan” (kalam Allah) dan non azalinya Qur’an. Karena itu keseluruhan isi ilmu
kalam dinamai dengan salah sau bagiannya yang terpenting.
2.
Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini
nampak jelas dalam pembicaraan para mutakalamin. Mereka jarang-jarang kembali
kepada dalil-dalil naqli (qur’an dan hadits), keculai sesudah menetapkan
benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
3.
Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam
filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk
membedakan dengan logika dalam filsafat.
5.2.
Sejarah Timbulnya Persoalan Teologi dalam Islam
Suatu
kenyataan sejarah, bahwa persoalan yang mula-mula timbul dalam Islam adalah
persoalan dalam bidang politik, bukan dalam bidang aqidah atau teologi. Tetapi
persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas kita perlu menengok kembali sejarah Islam
pada awal perkembangannya.
Masyarakat
kota Mekkah
pada waktu itu adalah masyarakat pedagang. Yang berkuasa dalam masyarakat
adalah bangsawan Quraisy, pedagang-pedagang kaya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW
di Mekkah hanyalah sebagai kepala Agama, bukan kepada pemerintahan.Berbeda
dengan keadaan Nabi di Madinah, masyarakat Madinah adalah masyarakat petani
yang terjadi dari bangsa Arab dan Yahudi, bangsa Arab terdiri dari suku Aus dan
Khazraj; kedua suku tersebut tidak pernah bersatu dan selalu bermusuhan satu
sama lain. Hal ini menyebabkan keadaan menjadi tidak aman. Maka mereka
memerlukan seseorang pengantara yang netral tidak memihak kepada salah satu
suku yang ada.
Tatkala
kepala-kepala suku pergi ziarah ke Mekkah, mereka mendengar tentang pribadi
Nabi yang menurut pandangan mereka, beliau sangat tepat diangkat sebagai
pengantara bagi suku Aus dan Khazraj. Pada saat keadaan di Mekkah sangat gawat,
dan posisi Nabi di Mekkah makin terjepit, Nabi pindah dari kota
Mekkah ke kota
Yatsrib yang kemudian diganti nama Madinah. Di tempat yang baru ini Nabi
mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Di sana Nabi diangkat sebagai pengantara kedua
suku tersebut. Setelah Nabi berhasil mendamaikan kedua suku tersebut, akhirnya
diangkat menjadi kepala pemerintahan. Bertambahlah tugas Nabi, yaitu di samping
beliau bertindak sebagai Kepala Agama, beliau juga menduduki jabatan Kepala
Pemerintahan. Dan sejak itu kota
Madinah mempunyai kekuasan politik yang sebelumnya tidak pernah ada
Pada
saat Nabi wafat di tahun 632 M, daerah kekuasan Madinah telah meliputi seluruh
semenanjung Arabia. Tentang keberhasilan
pemerintahan Nabi ini W.M.Watt melukiskan, negeri Islam waktu itu telah merupakan
kupulan suku-suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi
Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga
masyarakat Mekkah sebagai intinya. Memang sebagai kata R. Strothman, Islam
disamping merupakan sistem Agama, juga telah merupakan sistem politik, dan Nabi
Muhammad di samping menjadi Rasul, juga menjadi seorang ahli negara.
Wajaralah
jika pada saat Nabi wafat tahun 632 M, masyarakat Madinah sibuk memikirkan
pengganti beliau sebagai kepala negara untuk memimpin negara yang baru lahir
itu, sehingga urusan pemakaman beliau merupakan soal kedua bagi mereka.
Timbullah persoalan khilafah, soal pengganti Nabi dalam jabatannya sebagai
Kepala Negara, bukan dalam jabatannya sebagai Nabi atau Rasul. Sejarah mencatat bahwa kepala negara di Madinah setelah wafatnya
Nabi Muhammad, dijabat oleh Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan,
kemudian Ali ibn Abi Thalib. Pengangkatan keempat kepala negara ini melalui
cara yang berbeda-beda.
Oleh
karena itu, timbullah persoalan-persoalan siapakah yang berhak menggantikan
Nabi dalam jabatannya sebagai kepala negara. Timbullah perbedaan pendapat
antara Kaum Mujahirin dengan Anshar, serta keluarga Ali ibn Abi Thalib. Pada
awalnya hal ini dapat diatasi dengan dibai’atnya Abu Bakar menjadi pengganti
(khalifah) Nabi, setelah itu digantikan oleh Umar. Untuk mencarai pengganti
Umar, karena tidak ada pribadi yang menonjol sebagaimana halnya pribadi Abu
Bakar dan Umar, oleh Umar pengganti beliay diserahkan kepada panitia tujuh,
salah seorang diantaranya putera Umar sendiri, yang diberi hak memilih tetapi
tidak hak dipilih. Oleh panitia tujuh Usman ibn Affan terpililah sebagai
pengganti Umar. Situasi politik dalam negeri menjadi panasa lagi pada masa
setelah enam tahun masa pemerintahan Usman. Hal mana disebabkan politik
nepotisme yang dilakukan oleh pemerintahan Umar. Ini dikenal sebagai seorang
yang lemah, yang tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang sangat
berpengaruh. Gubernur-gubernur daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam yang
telah diangkat oleh Umar digantikannya dengan mengangkat keluarganya.
Tindakan
politik yang dijalankan oleh usman ini menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong
usman, mulai meninggalkannya ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu.
Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau mereka yang ingin calonnya
menjadi khalifah muali memanfaatkan situasi ini. Dari Mesir beberapa orang
memberontak datang ke Madinah yang berkesudahan terbunuhnya Usman.
Setelah
Usman wafat, Ali merupakan calon terkuat dan menjadi khalifah keempat. Tetapi
ia segera mendapatkan tantangan dari orang-orang yang semula ingin menjadi
khalifah, terutama Thalhah dan Zuber dari Mekkah yang mendapatkan dukungan dari
‘Aisyah. Tantangan dari Thalhah, Zuber dan ‘Aisyah ini segera dapat dipatahkan
oleh Ali. Thalhah dan Zuber mati terbunuh, dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekkah.
Tantangan
kedua datang dari Mu’awiyah gubernur Damaskus. Is juga tidak mau mengikuti Ali
sebagai khalifah, ia menuntut kepada Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh
Usman, bahkan menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir, terdapat Muhammad
ibn Abu Bakar anak angkat Ali. Ali tidak mengambil tindakan terhadap pemberontak-pemberontak
itu, bahkan Muhammad ibn Abu Bakar diangkat menjadi gubernur Mesir.
Selanjutnya
terjadilah pertempuran antara pihak Ali dan Mu’awiyah, yang dalam sejarah
dikenal dengan “perang Siffin”. Pada saat-saat tentara Mu’awiyah hampir kalah,
tiba-tiba salah seorang pendukung Mu’awiyah “Amr ibn al-Ash” mengangkat
Al-Qur’an diatas ujung tombak, sebagai tanda ajakan untuk berdamai dengan
mengadakan arbitrase atau tahkim. Dari pihak Ali
sebagian menyambut ajakan itu, tetapi sebagian yang lain menolak, karena
kemenangan hampir dicapai oleh pihak Ali, dan mereka berpendapat putusan hanya
dari Allah, dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Laa
hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah), atau laa hakama
illa Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah).
Jelaslah,
persoalan-persoalan politik sebagai tersebut diatas segera menjalar dan berubah
menjadi persoalan teologi, persoalan aqidah atau keyakinan, yaitu persoalan
dosa, kafir dan mukmin. Siapa yang sudah menjadi kafir dan siapa yang masih
tetap mukmin.
Lambat
laun persoalannya menjadi berkembang, yaitu yang menjadi kafir bukan orang yang
tidak menetapkan hukum dengan al-Qur’an saja, tetapi juga orang yang berbuat
dosa besar menjadi kafir pula. Persoalan berbuat
dosa besar inilah yang akhirnya berkembang luas dan berpengaruh besar dalam
pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalannya ialah orang yang berbuat dosa
besar (tujuh macam sebagai yang tersebut dalam hadis), masihkah ia mukmin atau
telah menjadi kafir dalam arti keluar dari agama Islam, jika ia mati dan belum
bertobat. Golongan Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha berpendapat
bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar, ia mati sebelum bertobat, maka ia
berada pada posisi diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain).
Sebelumnya Hasan al-Basri guru Washil bin Atha berpendapat bahwa orang tersebut
tetap mukmin, sebagaimana juga pendapat golongan Murjiah.
Selanjutnya
persoalannya berkembang kepada siapa sumber perbuatan manusia itu. Golongan
Qodariyah berpendapat bahwa sumber perbuatan manusia adalah manusia sendiri,
sedang golongan Jabariyah berpendapat bahwa sumbernya adalah Tuhan, sehingga
terbentuklah aliran atau faham free will atau free act yang bersifat liberal,
dan aliran atau faham fatalisme yang bersifat tradisional. Akhirnya lahirlah
faham atau aliran khawarij, Qodariyah dan Jabariyah.
5.3.
Aliran-Aliran Ilmu Kalam
1. Khawarij
Dari
sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharij yang
berarti sesuatu yang keluar. Sementara menurut pengertian terminologis khawarij
adalah kelompok atau golongan yang pertama keluar dan tidak loyal terhadap
pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan
tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a.
Ada
sumber yang mengatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat
sebelum terjadinya fitnah yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Yaitu
perang jamal (antara sahabat Ali r.a dengan Aisyah) dan perang Siffin ( antara
sahabat Ali r.a dengan Mu’awiyah r.a). Dengan alasan bahwa seelum kejadian
tersebut para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah
akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya).
Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawarij menilai mayoritas
sahabat Nabi SAW sudah keluar dari islam. Akibatnya, hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat setelah kejadian tersebut mereka tolak.
Seluruh kitab-kitab tulisan
orang-orang khawarij sudah punah seiring dengan punahnya mazhab khawarij ini,
kecuali kelompok Ibadhiyah yang masih termasuk golongn khawarij. Dari sumber
(kitab-kitab) yang ditulis oleh golongan ini ditemukan Hadits nabi saw yang
diriwayatkan oleh atau berasal dari Ali, Usman, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin
Malik, dan lainnya. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seluruh
golongan khawarij menolak Hadits yang diriwayatkan oleh Shahabat Nabi saw, baik
sebelum maupun sesudah peristiwa tahkim adalah tidak benar.[22]
2. Syiah
Kata syiah berarti ‘para pengikut’ atau para pendukung.
Sementara menurut istilah ,syiah adalah
golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib lebih utama daripada khalifah yang sebelumnya, dan berpendapat
bahwa al-bhait lebih berhak menjadi
khalifah daripada yang lain.
Golongan
syiah terdiri dari berbagai
kelompok dantiap kelompok menilai
kelompok yang lain sudah keluar dari islam. Sementara kelompok yang
masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna ‘asyariyah. Kelompok
ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu syariat islam. Hanya saja ada perbedaan nmendasar antara kelompok
syiah ini dengan golongan ahl sunnah (golongan
mayoritas umat islam), yaitu dalam hal penetapan hadits.
Golongan
syiah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW mayoritas para sahabat sudah murtad
kecuali beberapa orang saja yang menurut menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu,
golongan syiah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syiah hanya menerima
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
ahli baiat saja.[23]
3. Mutazilah
Arti
kebahasaan dari kata mutazilah adala ‘sesuatu yang mengasingkan diri’. Sementara yang dimaksud
disini adalah golongan yang mengasingkan diri mayoritas umat islam karena
berpendapat bahawa seorang muslim yang fasiq idak dapat disebut mukmin atau
kafir.
Imam
Syafi’I menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau
tidak menelaskan siapa arang yang menolak sunah itu. Sementara sumber-sumber
yang menerankan sikap mutazilah erhadap sunnah masih terdapat kerancuan, apakah
mutazilah menerima sunnah keseluruhan,
menolak keseluruhan, atau hanya menerima sebagian sunnah saja.
Kelompok
mutazilah menerima sunnah seperti halnya umat islam, tetapi mungkin ada
beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal tersebut berlawanan dengan
pemikiran mazhab mereka. Hal ini tidak berarti mereka menolak hadits secara
keseluruhan, melainkan hanya menerima hadits yang bertaraf mutawatir saja.[24]
BAB 6
STUDI PEMIKIRAN ISLAM FIQH
6.1.Pengertian
Ilmu Fiqih
Dilihat dari sudut bahasa, fiqih berasal dari kata “faqaha”
yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Dalam peristilahan syar’I, ilmu fiqih
dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’I amali
(praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap
dalil-dalilnya yang terperinci (baca: al-tafshili) dalam nash (Al-qur’an dan hadis).
Fiqh menurut bahasa Arab ialah paham atau pengertian.
Menurut istilah ialah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang pada
perbuatan anggota, diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci).Fiqih
atau fiqh (bahasa Arab:ﻓﻘﻪ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam
yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan
manusia dengan Tuhannya.[25]
Hukum syar’I yang dimaksud dalam definisi di atas adalah
segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun kata ‘amali dalam definisi itu
dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini
hanya yang berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyah) mukallaf dan tidak termasuk
keyakinan atau itikad (‘aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil
terperinci (al-tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan
terpapar dalam nash dimana satu persatunya menunjuk pada satu hukum tertentu.
Dalam versi lain, fiqih juga disebut sebagai koleksi
(majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan
diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili.Dengan sendirinya, ilmu fiqih dapat
dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan
itu.
6.2.
Sejarah Perkembangan Fiqh Islam[26]
1.
Di Masa Rasulullah saw.
Rasulullah saw. semasa hidupnya menjadi referensi setiap
muslim untuk mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al-Qur’an maupun
dari Sunnahnya; yang mencakup perbuatan, ucapan, dan ketetapannya. Hukum yang
Rasulullah perintahkan adalah hukum Allah yang bersifat qath’iy meskipun
berbentuk pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an atau tafsirnya. Karena peran
Rasulullah adalah menjelaskan Al-Qur’an. Firman Allah, “Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
Kadang sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehinggga ketika
masalah disampaikan kepada Rasulullah saw., Beliau menetapkan ijtihad yang
benar dan menjelaskan kesalahan yang salah. Pernah juga Rasulullah saw.
menerima dua ijtihad yang bertentangan, yaitu ketika Nabi memerintahkan kaum
muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah dengan sabda, “Janganlah ada
seseorang yang shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.” (Selengkapnya hadits
ini diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam Kitabul Maghaziy).
2.
Sejak Wafat Nabi Sampai Wafatnya Empat Imam Madzhab
Setelah Rasulullah saw. wafat dan wilayah-wilayah baru Islam
sangat luas, mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini
disebabkan oleh dua hal:
1.
Masuknya Islam ke masyarakat baru
membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah
saw., tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui hukum
agama dan penjelasannya.
2.
Seorang sahabat Nabi tidak
mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw. menyampaikan atau
mempraktekkan satu hukum syar’i di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di
hadapan satu orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal
ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya
dari Rasulullah saw., pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima
langsung hukum syar’i itu dari Rasulullah saw.
Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah wafatnya
Umar bin Al Khaththab r.a., terbukalah ruang tampilnya dua madrasah (sekolah)
yang berbeda dalam menggali fiqh:
1.
Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut
demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah
lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih.
Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak
perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
2.
Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut
demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’i. Hal
ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan karena
banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya sama
sekali.
Pada awalnya perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam.
Hanya saja kemudian semakin menyempit bersamaan dengan perkembangan waktu,
khususnya setelah hadits-hadits ditulis dan terbitkan dalam bentuk buku
(pembukuan buku-buku hadits). Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk
menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif (lemah), dan palsu, sehingga
tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika tidak ada nash untuk satu
masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur nash itu sendiri sudah ada di
Madrasatul Hadits sebagaimana terdapat di Madrasatur-ra’yi.
Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqh yang sangat besar
dan menjadi satu ilmu tersendiri dengan menampilkan ulama-ulama besar yang terkenal.
Mereka adalah ulama empat madzhab, yaitu:
- Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan Al-Imam Al-A’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlur-ra’yi, pencetus pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Hanafi dinisbatkan.
- Malik bin Anas Al-Ashbahi (93-179 H). Dialah Imam Ahli Madinah yang menggabungkan antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah al-mashalih al-mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab Maliki dinisbatkan.
- Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qurasyi (150-204 H). Madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Kepadanyalah Madzhab Syafi’iy dinisbatkan.
- Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy (164-241 H). Dia adalah murid Imam Syafi’i, dan madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits.
Dan kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama
dan sesudah mereka itu, terdapat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya,
terutama ulama di kalangan sahabat, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn
Abbas, Abdullah ibn Umar, dan Zaid bin Tsabit. Demikian juga ulama di masa
tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Ibrahim an-Nakha’iy,
Al-Hasan Al-Bashriy, Mak-hul, dan Thawus. Kemudian para gurunya empat imam
madzhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash-Shadiq, Al-Auza’iy,
Ibnu Syubrumah, Al-Laits bin Sa’d, dan lain-lain.
Akan tetapi empat Imam Madzhab itu memiliki para pengikut
yang merangkum pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya
untuk disajikan dengan mudah kepada kaum muslimin. Sehingga, kaum muslimin
dapat memperoleh apa saja yang membantunya memahami hukum Islam dengan tersusun
rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid beberapa tahun. Demikianlah sehingga
menjadi pondasi bagi kehidupan kaum muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga
mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku tafsir, atau hadits untuk
mengetahui hukum Islam karena telah disajikan dengan methode madzhab fiqh yang
instant.
3.
Sejak Wafatnya Empat Imam Madzhab Sampai Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
Kaum muslimin menerima empat madzhab dengan talaqqi, dan
menjadikannya sebagai pegangan fiqh Islam. Para
ulama mempelajari dan mengajarkannya. Mulailah fiqh menyebar luas dari terapi
masalah sampai pada analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Kajian-kajian fiqh tersebar luas, dan mulai muncul fanatik madzhab yang
menjadikan pengikut suatu madzhab menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang
semula hanya merupakan hukum dan pendapat yang berkembang dalam batas-batas
ajaran Islam yang luas. Kemudian para ulama empat madzhab itu mengeluarkan fatwa
tentang tertutupnya pintu ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak berkompeten
tidak masuk ke wilayah ini, lalu diikuti oleh orang-orang awam sehingga umat
Islam berada dalam gelombang ketidakpastian yang menghapus apa yang sudah
dibangun oleh para ulama besar sebelumnya.
Demikianlah sehingga berubah kepada taqlid. Para ulama mengarahkan usahanya untuk mencari dalil atas
pendapat-pendapat madzhab, berijtihad di dalam madzhab, mentarjih antara
pendapat yang berbeda-beda dalam satu madzhab. Jadilah fiqh berputar dalam
dirinya sendiri. Seorang ulama fiqh mensyarah (menjelaskan) kitab fiqh imam
sebelumnya dengan penjelasan rinci berjilid-jilid besar, lalu datang ulama
berikutnya yang meringkasnya, kemudian ada yang memberikan ta’liq (catatan)
atas ringkasan itu untuk menguraikan sebagian ketidakjelasan, lalu ada yang
menulis hasyiyah (catatan pinggir)-nya, kemudian ada yang kembali
menguraikannya dengan detail.
Demikianlah fiqh mengalami kejumudan untuk menguraikan
realitas yang ada. Terjadi pembengkakan kajian masalah ibadah sementara
masalah-masalah politik Islam, masalah mu’amalat. Sehingga ketika terjadi
serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad sembilan belas ditemukan
banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya, lalu menerima banyak sekali
pikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at Islam dan menanggalkan atribut
ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh yang berfatwa memperbolehkan uang riba
untuk memberi makan anak-anak yatim, mengesahkan aturan yang menyamakan hak
laki-laki dan wanita dalam memperoleh harta warisan.
4.
Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah Sampai Hari Ini
Fase ini ditandai dengan semakin luasnya perbedaan antara
dua madrasah fiqh:
- Al-Madrasah Al-Madzhabiyyah, yaitu madrasah pengikut empat madzhab yang menganggap telah tertutupnya pintu ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten dengan salah satu dari empat madzhab.
- Al-Madrasah As-Salafiyah, yaitu madrasah yang menghendaki kembali langsung kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, melarang seorang muslim taqlid dalam masalah furu’, mewajibkannya berijtihad, mengkaji, dan mengambil langsung dari teks Al-Qur’an dan Sunnah.
6.3.
Kajian Objek Ilmu Fiqih[27]
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu
fiqih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.Perbuatan
tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah, dan
‘uqubah. Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya
berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji, dan
lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan
harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta
peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah. Bagian
‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti
pembunuhan, pencurian, perampokkan, pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini
juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti gisas, had, diyat, dan ta’zir.
Al-Fiqh adalah sekumpulan hukum syar’i yang wajib dipegangi
oleh setiap muslim dalam kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan
pribadi maupun sosial, meliputi:
- Al-Ibadah, yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat.
- Al-Ahwal asy-Syahsiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai akhir.
- Al-Mu’amalat, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain seperti hukum akad, hak kepemilikan, dan lain-lain.
- Al-Ahkam as-Sulthaniyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan rakyat.
- Ahakmus silmi wal harbi, yaitu yang mengatur hubungan antar negara.
Sesungguhnya kompleksitas fiqh Islam terhadap
masalah-masalah ini dan sejenisnya menegaskan bahwa Islam adalah jalan hidup
yang tidak hanya mengatur agama, tetapi juga mengatur negara.
6.4.
Macam-Macam Hukum Syar’i
Hukum Syar’i ada dua macam, yaitu:
1. Qath’iy, yaitu
sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
kesimpulan yang qath’iy (pasti), seperti:
- Kewajiban shalat, dari firman Allah.: وأقيموا الصلاة
- Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه
- Larangan riba, dari firman Allah: وذروا ما بقي من الربا
- Larangan zina dari firman Allah: ولا تقربوا الزنا
- Larangan khamr, dari firman Allah: فاجتنبوه لعلكم تفلحون
- Kedudukan niat, karena sabda Nabi: إنما الأعمال بالنيات
Hukum syar’i yang bersifat qath’iy ini tidak ada peluang
khilaf (beda pendapat) di antara kaum muslimin di level ulama, madzhab, dan
umat secara umum. Sebab, semua itu adalah hukum-hukum agama yang secara
aksiomatis diterima sebagai dharuriyyat (kepastian). Dan jumlahnya relatif
lebih kecil dibandingkan dengan hukum syar’i yang zhanniy.
2. Zhanny, meliputi, pertama, sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh
Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kesimpulan zhanniy (hipotesa); dan kedua,
sekumpulan hukum yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syar’i yang
lain dengan berijtihad.
BAB 7
STUDI PEMIKIRAN
ISLAM FILSAFAT[28]
7.1. Pengertian Filsafat Islam
Filsafat terdiri dari dua kata yaitu filsafat
dan Islam. Secara literal filsafat berasal dari kata Philo yang artinya
“cinta” dan Sophia artinya “pengetahuan” dan “kebijaksanaan”. Jadi philosophia
berarti cinta akan ilmu. Dalam khazanah ilmu, filsafat diartikan sebagai
berfikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna.
Berfilsafat adalah berfikir radikal, radix artinya
akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam
sampai ke akar-akarnya. Berfilsafat adalah berfikir dalam tahap makna, ia
mencari hakikat makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran makna dari
sesuatu atau keberadaan dan kehadiran. Sedangkan Islam secara semantik berasal
dari kata salima yang artinya menyerah, tunduk dan selamat. Islam
artinya menyerahkan diri kepada Allah dan dengan kata menyerahkan diri kepada-Nya
maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian menyerah, maka
semua makhluk ciptaan Allah, gunung, samudra, udara, air, cahaya dan bahkan
setan pun, pada hakikatnya adalah Islam, dalam arti tunduk dan menyerah kepada
Penciptanya, pada hukum-hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku pada dirinya
sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam).
Jadi filsafat Islam pada hakikatnya adalah
filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak dan
karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan filsafat tentang Islam. Filsafat
islam artinya berfikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna yang
mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian
hati. Dengan demikian, filsafat Islam berada dengan menyatakan keberpihakannya
dan tidak netral. Keberpihakannya adalah kepada keselamatan dan kedamaian.
7.2.Hubungan Ilmu Kalam Dan Filsafat
Ilmu kalam dan filsafat mempunyai kemiripan
obyek kajian. Obyek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan Tuhan, sedangkan obyek kajian filsafat adalah masalah
ketuhanan disamping masalah alam, manusian, dan segala sesuatu yang ada.
Baik illmu kalam maupun filsafat berurusan
dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri
berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya.
Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik
tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu
pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya, atau tentang
Tuhan.
A.Titik Perbedaan
Perbedaan di antara kedua ilmu tersebut terletak
pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika,
disamping argumentasi-argumentsi naqliah, berfungsi untuk mempertahankan
keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada
dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika atau dikenal dengan istilah
dialog keagamaan.
Sementara itu filsafat adalah sebuah ilmu yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun
adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan
(mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan
integral (menyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh
ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.
Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada
ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual
clarity)
Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang
dihasilkan oleh kerja logika, maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut
kebenaran korespondensi. Dalam pandangan korespondensi, kebenaran
adalah persesuaian antara pernyataan fakta dan data itu sendiri. Dengan bahasa
yang sederhana, kebenaran adalah persesuaian antara apa yang ada dalam rasio
dengan kenyataan yang sebenarnya dialam nyata. Disamping kebenaran korespondensi,
didalam filsafat juga dikenal kebenaran koherensi. Dalam pandangan koherensi,
kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu
pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanent. Jadi
kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang
dianggap benar oleh ulama’ umum.
Disamping dua macam kebenaran diatas, didalam
filsafat dikenal juga dengan kebenaran pragmatik. Dalam pandangan pragmatisme,
kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat
dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu
akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit
untuk dikerjakan. Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang
menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains
dan filsafat itu sendiri. Sains berkembang menjadi sains
kealaman, sosial, dan humaniora, sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi
filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern.
Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya),
teologi berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal
rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat berperan
sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk
mengenal Tuhan secara meyakinkan melaui pengamatan dan kajian alam dan
ekosistemnya langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat
prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya.
B. Wilayah Kalam dan Filsafat
Kata falsafah adalah bahasa arab yang di pinjam
dari kata Yunani yaitu “Philosophia” yang berarti kecintaan kepada ilmu/
kebijasanaan (Wisdom). Kata falsafah diberi sentuhan bahasa Indonesia
menjadi filsafat atau filosofi. Dalam ungkapannya arab yang asli, cabang ilmu
tradiosional islam di sebut ‘ulum al hikmah atau pendek kata di sebut
dengan “al-hikmah” yang artinya kebijaksanaan. Maka “Failasuf” (ambilan
kata yunani “Philosophos”, pelaku filsafat) di sebut juga “al-Hakim” (ahli
hikmah atau orang yang bijaksana).
Sumber dan pangkal tolak falsafah dalam islam
adalah ajaran islam sendiri sebagaimana terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah.
Para Failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain adalah orang-orang yang
berjiwa keagamaan (religius), sekalipun berbagai titik pandang keagamaan mereka
cukup banyak berbeda, jika tidak justru akan berlawanan dengan yang dipunyai
ortodoks (ajaran murni/ fanatik) serta tidak mungkin menilai bahwa falsafah
islam adalah carbon copy pemikiran Yunani.
Sepintas, kata filsafat itu menjadi jelas bahwa
disiplin ilmu keislamam ini meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam
sumber-sumber ajaran Islam sendiri banyak mengandung unsur-unsur dari luar,
terutama dunia pemikiran Yunani. Inilah pangkal dari adanya kontroversi di
sekitar falsafah, dimana batas-batas agama Islam mengizinkan adanya masukan dari
luar khususnya jika datang dari kalangan bukan ahli kitab.
Beberapa ulama’ yang fanatik tersebut
menunjukkan kemusyrikan orang-orang Yunani tersebut sebagi salah satu alasan
keberatan mereka terhadap filsafat. Karena dalam filsafat tersebut, pengertiannya
sangat luas dan mencakup bidang-bidang ilmu pengetahuan (disiplin ilmu) dan
bukan hanya ilmu pengetahuan saja, yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya
bukan wahyu tetapi akal, baik yang berasal dari penalaran deduktif maupun yang
penyamaran empiris. Karena falsafat tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual
antara bangsa arab muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Interaksi sosial itu
memperoleh wujudnya yang nyata semenjak masa dini sekali sejarah Islam.
Sedangkan dalam pembahasan teologi, pemakaian
istilah teologi terdiri dari Theos yang artinya “tuhan” dan Logos
yang artinya “ilmu”. Jadi teologi adalah ilmu yang membahas tentang ketuhanan
yaitu membicarakan Zat Tuhan dari segala seginya dan hubunganya dengan alam.
Teologi bisa saja tidak bercorak agama, tetapi merupakan bagian dari filsafat
ketuhanan. Dan bisa juga bercorak agama sebagai keterangan kata-kata agama yang
bersifat pikiran. Ilmu kalam membicarakan tentang kenyataan-kenyataan dan
gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan antara tuhan dan manusia, baik
dengan jalan penyelidikan ataupun pemikiran murni.
Dalam alur argumen kalam asy’ari, setiap
pembahasan teologi, pusat argumentasi kalam asy’ari berada pada upayanya untuk
membuktikan tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya dan bahwa jagad raya itu
karena diciptakan oleh tuhan dari “ketiadaan”. Karena itulah maka ilmu kalam
menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas dalam islam. Yang
membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama
lain manapun, baik dari segi isi maupun metodologinya.
7.3.Titik Temu Antara Ilmu Kalam dan Filsafat Islam
Dari uraian diatas kita dapat mengetahui secara
garis besar bahwa filsafat Islam bertujuan untuk mempertemukan antara filsafat
dan agama. Hal ini dapat kita lihat pada setiap langkahnya, akan tetapi timbul
pertanyaan bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sebagai bahasa langit, sebagai
santapan hati, dan sebagai sumber perintah-perintah dan larangan-larangan, bisa
bertemu dengan filsafat sebagai ciptaan manusia dan sebagai bahasa bumi yang
masih bisa dibahas dan di persoalkan? Bagaimana kebenaran yang di dasarkan oleh
ilham dan wahyu bisa di persatukan dengan kebenaran filsafat yang didasarkan
dengan alasan fikiran? Bagaimana dengan dalil sam’i bisa di gabungkan dengan
dalil aqli?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, bisa dijawab
dengan tidak lebih dari tiga jawaban, yaitu: pertama, memegang teguh
agama dan menolak filsafat. Ini adalah pendirian orang beragama dan tidak
berfilsafat. Yang kedua, kebalikan dari yang pertama, yaitu memegang
teguh filsafat dan menolak agama. Dan inilah pendirian orang yang berfilsafat
dengan tidak mengindahkan aqidah-aqidah agama. Dan yang ketiga,
mengusahakan pemaduan antara filsafat dan agama dengan menggunakan cara
tertentu, dan cara inilah yang di tempuh oleh seorang filosof yang mu’min atau
seorang filosof yang seharusnya memperhatikan aqidah-aqidah agama.
Bagi orang yang memahami semangat Islam yang
mengajarkan pengambilan jalan tengah dan mempelajari ilmu-ilmu keislaman, maka
ia akan mengetahui bahwa semangat pemaduan adalah merupakan salah satu
aliran-liran yang berbeda dan berlawanan, tentu timbul aliran penengahnya.
Seperti yang dibuktikan oleh sejarah.Aliran asy’ariah dalam ilmu kalam yang
bisa dikatakan yang bisa menguasai dunia Islam sampai sekarang ini tidak lain
adalah aliran tengah-tengah filsafat yang memegangi bunyi nash tanpa
mengemukakan penafsiran rasional dengan aliran mu’tazilah yang membebaskan
sepenuhnya dalam memahami nash-nash dan penafsirannya.
Dalam lapangan hukum Islam kita mendapati mazhab
syafi’i yang menjadi mazhab penengah antar mazhab Maliki dan mazhab Hanafi yang
mendasarkan pada pikiran dan ijtihad. Kalau demikian corak pemikiran
kaum muslimin pada berbagai bidang pemikiran-pemikiran pada umumnya, maka terlebih
lagi filosof-filosof Islam berusaha untuk mempertemukan agama dengan filsafat
yang di percayai kebenarannya dan didasarkan dengan ketentuan-ketentuan dalil
pikiran yang sama rata.
Selain karena corak pemikiran tersebut, ada
beberapa faktor yang mendorong kearah pemaduan tersebut, yaitu: pertama,
adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dan filsafat Aristoteles dalam
berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri khasnya, baharu
dan qodimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan keabadian jiwa, dan
balasan badaniah atau ruhaniah di akhirat. Kedua, adanya serangan yang
banyak dilancarkan oleh orang-orang agama terhadap setiap pembahasan pikiran
yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan aqidah agama yang telah di tetapkan
sebelumnya. Sikap ini sering di ikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan
oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap ahli-ahli pikir bebas. Dan
yang ketiga, hasrat para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri
dari tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu
nampak perlawanannya dengan agama.
BAB 8
STUDI PEMIKIRAN
ISLAM TASAWUF[29]
8.1. Pengertian Istilah-Istilah
Kata-Kata Kunci: Tasawuf, Sufi,Tariqat
Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli,
baik dari kalangan para sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan,
terhadap kata tasawuf. Namun demikian tidak mungkin mencantumkan semua definisi
dalam tulisan ini, karena sebahagian definisi memiliki kesamaan arti dengan
definisi lain, meskipun menggunakan redaksi yang berbeda.
Untuk tujuan kejelasan arti kata tasawuf atau sufi,
diperlukan penelusuran terhadap asal usul penggunaan kata tersebut. Dengan
penelusuran ini, diharapkan akan memberikan gambaran jelas akan makna kata
tasawuf yang sesungguhnya.
Para
ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tersebut. Ada yang berpendapat
bahwa kata tersebut dinisbahkan kepada perkataan ahl al-suffah.
الصوف متصل بأهل الصفة وهم اسم اطلق على بعض فقراء المسلمين فى
صدر الإسلام كانوا ممن لا بيوت لهم فكانوا يأوون إلى صفة بناها الرسول خارج
السمجد بالمدينة
“Kata shufi berhubungan dengan perkataan ahl al-shuffah,
yaitu nama yang diberikan kepada sebahagian fakir miskin di kalangan
orang-orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah di antara orang-orang
yang tidak punya rumah, maka mereka menempati gubuk yang telah dibangun oleh
Rasulullah di luar masjid di Madinah.”
Ada
yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata shafa yang berarti suci.
وقالت طائفة انما سميت الصوفية صوفية لصفاء اسرارها ونفقاء
أثارها
“Segolongan (ahli tasawuf) berkata: bahwa pemberian nama
shufiyah karena kesucian hatinya dan kebersihan tingkah lakunya.”
Dengan demikian mereka memiliki ciri khusus dalam aktifitas
dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka adalah orang yang selalu
memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.Selanjutnya, ada yang
berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata shaff yang berarti barisan.
“Satu kaum berkata, bahwasanya mereka menamakan shufiyah
karena mereka berada pada barisan (shaf) terdepan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla
dengan ketinggian cita-cita mereka kepada-Nya dan kesungguhan mereka untuk
bertemu dengan-Nya dan ketegaran (ketetapan) hati mereka di sisi-Nya”
Ada yang menisbahkan kata tersebut kepada kata ash-shufu yang
berarti bulu atau wol kasar. Hal ini karena para sufi mengkhususkan diri mereka
dengan memakai pakaian yang berasal dari bulu domba. Hanya kain wol yang
dipakai kaum sufi adalah wol yang kasar bukan wol halus yang dipakai sekarang.
Memakai wol pada saat itu adalah sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan.
Lawannya ialah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya dikalangan
pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan
miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai
gantinya memakai wol kasar.
Bagaimanapun, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Khaldun
bahwa seseorang tidak begitu saja dapat disebut sebagai seorang sufi hanya
dikarenakan ia memakai pakaian yang terbuat dari wol kasar. Pakaian ini
menggambarkan bahwa mereka adalah orang yang sangat sederhana yang tidak
menampilkan diri dengan pakaian-pakaian yang bagus, halus dan mahal. Hal ini
terlihat dari kata suf itu sendiri yang berarti kain wol kasar. Ini
menggambarkan ketidak cendrungan mereka kepada kehidupan duniawi.
Ada juga yang menisbahkan kata tersebut kepada bahasa yunani
yaitu saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah yang berarti
kebijaksanaan. Kata Sophos dalam bahasa Yunani menunjukkan kondisi jiwa yang
senantiasa cenderung kepada kebenaran. Dan masih ada pendapat lain yang
menghubungkan kata tasawuf tersebut dengan perkataan lain. Yang jelas dari segi
bahasa atau asal usul penggunaan kata tersebut dapat dikatakan bahwa kata
tasawuf berkonotasi pada kebijakan, kesucian hati dari godaan hawa nafsu,
memutuskan ketergantungannya dengan kehidupan material yang dapat menggangu
hubungan dengan tuhan, hidup dalam kezuhudan dan menenggelamkan diri dalam
ibadah sehingga semakin dekat dengan-Nya.
Secara terminologi, tasawuf diartikan beragam. Hal ini di
antaranya karena berbeda cara memandang aktifitas-aktifitas para sufi. Berikut
ini akan dikemukakan beberapa definisi yang difomulasikan oleh para ahli-ahli
tasawuf.Ma’ruf al-Kharkhi sebagaimana yang dikutip oleh As-Suhrawardi
mengatakan: “ Tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada
di tangan makhluk”.
Definisi ini menggambarkan bahwa tasawuf berupaya mencari
hakikat kebenaran dengan meninggalkan kesenangan duniawi. Kesenangan duniawi
tidak menjadi perhatian dan bahkan dijauhi karena dapat mengganggu ibadah dan
hubungan dengan Allah.
Muhammad Amin Kurdi mengatakan bahwa tasawuf adalah: “Tasawuf
adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat
yang terpuji, cara melakukan suluk dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan
meninggalkan (larangan-larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa tasawuf berkutat
pada kegiatan-kegiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji,
cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah. Di samping
itu, al-Junaid al-Bagdadi mengemukakan bahwa tasawuf adalah membersihkan hati
dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyyah(kemanusiaan),
menjauhi, hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada
ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya,
memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah, dan
mengikuti syariat Rasulullah.
Dari beberapa penjelasan diatas sudah dapat diambil
pengertian tasawuf, dimana di dalamnya mengandung ajaran-ajaran tentang
kehidupan keruhanian, kebersihan jiwa, cara- cara membersihkannya dari berbagai
penyakit hati, godaan nafsu, kehidupan duniawi, cara- cara mendekatkan diri
kepada Allah seta fana dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan
hati yang dalam akan Allah. Sedangkan sufi adalah orang yang menjalankan
tasawuf.
Sementara tarekat terambil dari bahasa Arab
al-Thariqah yang berarti “jalan”. Jalan yang dimaksud disini adalah jalan yang
ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah. Thariqah juga
mengandung pengertian organisasi. Yang mempunyai syeikh, upacara ritual dan
bentuk dzikir tertentu. Dengan demikian ada dua pengertian tarekat. (1) tarekat
sebagai pendidikan kerohanian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani
kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkat kerohanian tertentu. Tarekat
dalam artian ini adalah dari sisi amaliyah. (2) tarekat sebagai sebuah
perkumpulan atau organisasi yang didirikan menurut aturan yang telah ditetapkan
oleh seorang syeikh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu.
Untuk melihat hubungan antara dua pengertian di atas dan
juga hubungannya dengan tasawuf menarik untuk dikutip apa yang ditulis Abuddin
Nata berikut:
“Tarekat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri
kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi
seorang syeikh. Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul
dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan sebagaimana yang disebutkan
diatas. Dengan kata lain, tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Dengan
demikian, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarikat
itu adalah cara atau jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan
diri kepada Tuhan. Inilah hubungan antara tarekat dengan tasawuf.”[8]
8.2.
Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
a)
Sumber Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf pada dasarnya berkosentrasi pada kehidupan
ruhaniyah, mendekatkan diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian
seperti pembersihan hati, dzikir, ibadah lainnya serta mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana orang-orang yang
menekuninya tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan
memutuskan hubungan dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi oleh
ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’, al-taubah, al-zuhd, al-tawakkul, al-
syukr, al-shabr, al-ridha dan lainnya yang tujuan akhirnya fana atau hilang
identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam mencapai ma’rifah.
Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah
ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal tersebut
diatas. Di dalam Al-Qur’an ditemukan perintah beribadah dan berdzikir,
diantaranya: “Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan aku, maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku”.. ”Dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”.
Tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan dunia,
Al-Qur’an di antaranya menegaskan: “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah
adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan memperdayakan kamu dan
sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang
Allah. ”
Di samping itu ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa
Muhammad setiap bulan Ramadhan bertahannus di Gua Hira untuk mencari ketenangan
jiwa dan kebersihan hati serta hakikat kebenaran di tengah-tengah keramaian
hidup, ditemukan sejumlah hadits yang memuat ajaran tasawuf, diantaranya adalah
hadist yang artinya: ”Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu
berkata: Wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi berkata: Bertakwalah
kepada Allah karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah, karena
itu kehidupan seorang rubbani muslim, Berdzikirlah, karena itu adalah nur
bagimu.”
Tentang
kwalitas dan kwantitas ibadah Rasulullah, Aisyah r.a pernah berkata:
“Sesungguhnya Nabi SAW bangun di tengah malam
(untuk melaksanakan shalat) sehingga kedua telapak kakinya menjadi lecet. Saya
berkata kepadanya:”Wahai Rasulullah mengapa anda masih berbuat seperti ini,
padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang
bagimu?” Nabi SAW, lalu menjawab:”Salahkah aku jika ingin menjadi seorang hamba
yang selalu bersyukur”.
Ayat –ayat dan hadits-hadits yang dikutip di atas hanya
sebahagian dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengemukakan hal-hal kehidupan
ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf. Kehidupan yang didominasi oleh takut
dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan, bersyukur dan ridha serta
dekat dengan Allah. Kehidupan seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah
sendiri serta para sahabat-sahabatnya, khususnya mereka yang dijuluki ahl
al-shuffah. Karena itu, setelah mengutip sejumlah ayat yang berhubungan dengan
ajaran-ajaran tasawuf dan menjelaskannya, Muhammad Abdullah asy-Syarkawi
mengatakan:
“Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asal mula
tasawuf Islam dapat ditemukan semangat ruhaninya dalam Al-Qur’an al-Karim,
sebagaimana juga dapat ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi saw., baik
sebelum maupun sesudah diutus menjadi nabi. Awal mula tasawuf Islam juga dapat
ditemukan pada masa sahabat Nabi saw beserta para generasi sesudahnya.”
Abu Nashr As-Siraj Al-Thusi mengatakan bahwa ajaran tasawuf
pada dasarnya digali dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena amalan para sahabat,
menurutnya, tentu saja tidak keluar dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
(b). Awal Muncul Tasawuf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua
Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama
Hijriyah belum meneganal istilah tersebut. Namun bentuk amaliah para Sufi itu
tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah
Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasawuf mengalami perkembangan yang
sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik
sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan
Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama
bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat
konseptual. Tasawuf pada masa Rasulullah saw adalah sifat umum yang terdapat
pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali.
Pada awal perkembangan tasawuf, sekitar abad 1 dan ke-2 H,
tasawuf ditandai oleh menonjolnya sifat zuhud. Pada fase inilah muncul zahid
muslimyang termasyur di kota- kota
seperti Madinah, Kufah, Basra,
Balk, dan juga kawasan Mesir. Mereka merupakan gerakan yang menginginkan agar
kaum muslim hidup secara sederhana, sebagaimana dicontohkan dalam kehidupan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Para
ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya gerakan tersebut tidak terlepas
dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah-
yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang
diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana.
Di Madinah, Sa’id bin Musayyab (w. 91 H), murid dan menantu
Abu Hurairah ra (salah seorang ahl as-suffah), mencontohkan hidup zuhud kepada
para pengikutnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu kali ia ditawari
sejumlah tiga puluh lima
ribu dirham uang perak. Ia menolaknya dan beliau memandang para penguasa Bani
Umayyah-kata Ibnu Khallikan, penulis biografi tokoh-tokoh Islam klasik- sebagai
tiran, sehingga tidak mau membaiat Abdul Malik bin Marwan ketika naik tahta
kerajaan.[15]
Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama
sekali melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan madrasah tasawuf adalah
Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam
adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari
Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama
meletakkan dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah orang yang
pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawuf sebagai pembuka
jalan generasi berikutnya.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul
pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada
abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual, tasawuf telah ada sejak
adanya manusia, Usianya setua manusia. Semua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang
tidak lain adalah manusia sempurna ( insan kamil). Nabi Muhammad adalah Sufi
terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
(c). Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Untuk melihat lebih jelas bagaimana perkembangan pemikiran
tasawuf maka penulis mencoba mengemukakan secara ringkas sejarah perkembangan
tasawuf dimulai abad pertama hijriah.
1.
Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Pada periode ini, tasawuf telah kelihatan dalam bentuknya
yang awal. Pada periode ini ada sejumlah orang yang tidak menaruh perhatian
kepada kehidupan materi seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lebih
berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang lebih abadi
yaitu akhirat. Jadi pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk kehidupan
asketis (zuhud) Diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini adalah: dari
kalangan sahabat, diantaranya Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari. Sedangkan
dari kalangan tabi’in, diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan
lain-lain .
2.
Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Jika pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam
pengertian sederhana, maka pada abad ketiga dan keempat hijriah para sufi mulai
memperhatikan sisi-sisi teoritis psikologis dalam rangka perbaikan tingkah laku
sehingga tasawuf telah menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pada periode ini,
tasawuf mulai berkembang dimana para sufi menaruh perhatian setidaknya kepada
tiga hal yaitu jiwa, akhlak dan metafisika. Diantara tokoh-tokoh pada abad ini
adalah Ma’ruf al-Kharkhi, Abu Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishri, Abu Yazid
Al-Bustami, Junaid al-Baghdadi, Al-Hallaj dan lain-lain
3.
Abad Kelima Hijriyah
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar,
Al-Ghazali. Dengan tulisan momumentalnya tahafut al-falasifah dan ihya ‘ulum
al-din. Al-Ghazali mengajukan kritik- kritik tajam terhadap pelbagai aliran
filsafat dan kepercayaan kebathinan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf
dari teori-teori yang ganjil tersebut serta mengembalikannya kepada ajaran
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
4.
Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang
memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni dari
tasawuf dan juga tidak murni dari filsafat. Kedua-duanya menjadi satu. Tasawuf
ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi. Diantara tokoh-tokoh terkemuka
adalah Suhrawardi, Mahyuddin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Faridh dan lain-lain.
5.
Abad Kedelapan Hijriyah dan Seterusnya
Pada abad kedelapan Hijriyah, tasawuf telah mengalami
kemunduran. Ini diantaranya karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang
tasawuf, kegiatannya sudah terbatas pada komentar-komentar atau meringkas
buku-buku tasawuf terdahulu serta menfokuskan perhatian pada aspek-aspek
praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari
subtansi tasawuf. Pada periode ini hampir tidak terdengar lagi perkembangan
pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh sufi yang
mengemukakan pikiran-pikiran mereka tentang tasawuf. Diantaranya adalah
Al-Kisani dan Abdul Karim Al-Jilli. Di antara penyebab kemunduran mungkin
adalah kebekuan pemikiran serta spritualitas yang kering melanda dunia Islam
semenjak masa-masa akhir periode Dinasti Umayyah.
8.3.
Praktek Tasawuf dan Pengkajiannya
Mungkin layak dikatakan bahwa praktek spritual (tasawuf)
adalah inti ajaran sufisme. Sudut pandangan teori-teori dan metafisikanya telah
dielaborasikan oleh para sufi tapi tentu saja kehidupan dalam sufi dapat kita
jumpa dalam meditasi (dzikir), shalat, puasa dan praktek sehari-hari lainnya.
Dalam faktanya, sebahagian besar sufi menetapkan beragam dan bermacam-macam
praktek tasawuf. Praktek-praktek yang bersifat mediatif ini benar jika
dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai “mengingat” nama-nama Allah.
Di dalam tasawuf akhlaqi untuk menghilangkan penghalang yang
membatasi manusia dengan Tuhannya, ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah sistem
atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang beri nama:
takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli
adalah usaha membersihkan diri dari semua perilaku tercela, baik maksiat batin
maupun maksiat lahir. Tahalli adalah tahapan pengisian jiwa
setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak tercela. Diantara sikap mental yang
sangat penting untuk diisikan kedalam jiwa manusia adalah al-taubah, al-khauf
wa raja’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr dan lain. Tajalli, berarti
tersingkapnya nur ghaib. Agar apa yang telah diupayakan pada langkah-langkah
diatas langgeng, berkelanjutan dan terus meningkat, maka mesti rasa ketuhanan
di dalam semua aktifitas akan melahirkan kecintaan dan kerinduan kepada- Nya.
Untuk melanggengkan rasa kedekatan dengan Tuhan ini, para sufi mengajarkan hal-
hal berikut: Munajat, Muhasabah, Muqarabah, Kasrat al-Dzikir, Dzikir al-maut
dan tafakur.
Hal ini juga dilakukan oleh beberapa tarekat walaupun dalam
prakteknya berbeda seperti tarekat Naqsabandiyah. Adapun beberapa praktek
tasawuf yang mereka lakukan adalah dzikir, rabithah, suluk 40 hari dan tidak
makan daging.[16]
8.4.
Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf
Menurut Charles J Adams diantara banyak bidang kajian dalam
studi Islam, tasawuf merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan.
Studi tradisi Islam tidak dapat dilepaskan dari studi tentang mistis yang
mungkin juga merupakan aspek yang muncul pada masa awal Islam bahkan pada masa
kenabian. Adams menunjukkan beberapa sarjana
yang tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel, dengan bukunya
Mystical Dimensions of Islam. Hal terpenting dari pendapat Adam adalah
untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan pendekatan fenonemologi.
Pendekatan fenonemologi adalah pendekatan yang lebih
memperhatikan pada pengalaman subjektif, individu karena itu tingkah laku
sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap dirinya dan dunianya.
Konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran
atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu
dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.
Sedangkan menurut Harun Nasution, kajian tasawuf dapat
dilakukan dengan pendekatan tematik yaitu penyajian ajaran tasawuf disajikan
dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-station lain,
mahabbah, al-ma’rifah, al fana dan al-baqa, al- ittihad, al-hulul dan wahdatul
wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari
setiap topik tersebut dengan data-data yang didasari pada literatur
kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya.
Kajian tasawuf yang dilakukan dengan pendekatan tematik akan
terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di
bandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Kajian tersebut sepenuhnya
bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya
dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam garis besar saja.
8.5.
Tokoh dan Karya Utama dalam Kajian Tasawuf
Adapun tokoh-tokoh dan karya utama yang termasuk kedalam
kajian tasawuf di antaranya:
(a) Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus pada tahun 450 H/1058 M. Karya utamanya
adalah Ihya ‘Ulum al- Din, Tahafut al-Falasifah dan Al-Munaiz min al-Dhalal .
(b) Abu Thalib al-Makki (w. 386 H)
Abu Thalib al-Makki adalah seorang pengarang kitab shufi
terbesar, bernama “Qutul Qulub fi Mu’amalatil Mahbub.[20]
(c) Ibn ‘Arabi (w. 1240 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah
ath-Thai al- Haitami. Dia lahir pada tahun 560 H. Karya utamanya adalah
Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam . Di antara ajaran yang terpenting
dari Ibn Arabi adalah Wahdatul wujud.
(g) Ar-Raniri
Nama lengkapnya Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji
Al-Hamid Al-Syafi’i Al-Aydarusi al-Raniri. Karya utamanya: Al-Tibyan fi
Ma,rifah al-Adyan fi al- Tashawwufh.
8.6.
Tujuan Ajaran Tasawuf
Tasawuf sebagai asfek mistisisme dalam Islam, pada intinya
adalah kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang
selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan
tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiyah manusia dengan
Tuhan.Komunikasi antara manusia dengan Tuhan sebenarnya sudah mulai terjalin
ketika seseorang berada di alam rahim dalam kontak perjanjian primordial antara
Tuhan dengan jiwa-jiwa manusia sebelum lahir, “ Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”
Mereka menjawab, benar, kami mengakui (Engkau Tuhan kami). (QS. Al- A’raf:
7/172). Namun setelah manusia itu lahir ke dunia ini, karena kelalaian
manusia akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba disebabkan
kesibukan duniawi komunikasi itu terputus dan seyogyanya manusia harus berupaya
menjalin komunikasi itu kembali untuk menuju hubungan yang harmonis dan intim
dengan Allah swt. Pada hakikatnya setiap ruhani senantiasa rindu ingin kembali
ketempat asalnya, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Bilamana
kelihatannya, dia lupa disebabkan perjuangan hidup duniawi, lupanya itu karena
terpendam, sebab rindu itu, ada pada setiap insan individu, hati kecil selalu
rindu ingin bertemu sang kekasih yakni Allah swt.
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasawuf adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah ( taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya,
dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan
jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling
mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik.
Begitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah.
Ibrahim bin Adham (w. 742) mengatakan, Tasawuf membawa
manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan
konsep al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti
hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan
melakukan sesuatu pada tempatnya.
Di kalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah
dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun- stasiun atau
maqamat-maqamat tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar dan
seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkat ma’rifat, bahkan sampai fana,
bersatu dan menyatu dengan Tuhan ( ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi
yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di
gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol- simbol.Kendatipun pengalaman
spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya,
itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan (
Sufi).
Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak
obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga
kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa
mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana
rasanya mangga yang sesungguhnya. Dengan kata lain pengalaman spiritual para
Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa
model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman
spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang
bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah. Sehingga dengan demikian
pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para
pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang
terkandung dibalik teks tersebut.
8.7.
Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Filsafat.
Al-Kindi, sebagaimana yang dikutip oleh Irfan Abdul Hamid,
mendefinisikan filsafat sebagai berikut: “Mengetahui sesuatu dengan hakikatnya
sebatas kemampuan manusia karena tujuan filosof di dalam ilmunya sampai kepada
kebenaran dan didalam amalnya sebagai amal yang benar”.
Dari pengertian ini dapat dillihat bahwa filsafat
berkonsentrasi pada pencarian hakikat sesuatu yang dapat mengantar kepada ilmu
dan amal yang benar. Pencarian kebenaran dalam filsafat adalah dengan
pendekatan kefilsafatan yaitu dengan pengerahan rasional. Di antara objek
bahasahan filsafat adalah jiwa dan roh.
Ilmu tasawuf di sisi lain juga berupaya untuk sampai kepada
kebenaran mutlak tetapi pendekatan yang digunakan lebih kepada zauq (rasa)
dengan jalan riyadhah (latihan- latihan) pembersihan jiwa untuk dapat dekat
dengan kebenaran mutlak (Allah). Di antara objek kajian tasawuf juga adalah
jiwa dan roh kendati lebih sering menggunakan istilah qalb.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, filsafat telah
memberikan sumbangan dalam dunia tasawuf. Kajian-kajian filsafat tentang jiwa
dan roh ini banyak dikembangkan dalam tasawuf khususnya tasawuf falsafi.
BAB 9
PENDEKATAN-PENDEKATAN STUDI ISLAM
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut
agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu
dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan
pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan
pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban
terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang
dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran
agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi
pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis,
kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di
sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu
yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin
Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
9.1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif termasuk salah satu
pendekatan studi islam yang cukup populer dikalangan umat islam. Pendapat ini
dalam memahami agama dengan mengunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap yang
paling benar dibandingkan dengan yang lainya.[30]
Dalam kamus
inggris Indonesia,
kata teologi diartikan ilmu agama, sedangkan dalam arti istilah teologi adalah
ilmu yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, sifat-sifat wajibnya,
sifat-sifat mustahilnya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pmbuatanya
Dengan demikian
teologi adalah istilah ilmu agama yang membahas ajaran ajaran dasar dari suatu
agama atau suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang
ingin memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang
terdapat dalam agama yang diyakininya.
Adapun kata
normatif berasal dari bahasa ingris norm yang berarti norma, ajaran, acuan,
ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan. Sedangkan istilah normatif adalah prinsif prinsif atau
pedoman pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup
bermasyarakat.
Pendekatan
teologi daam pendekatan pemahaman keagmaan adalah pendekatan yang menekankan
pada bentuk formal atau simbol simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya
sebagai yang paling benar sedangkan yang lainya adalah salah. Aliran teologi
yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa fahamnyalah yang paling benar
sedangkan yang lainya adalah salah, sehingga memandang faham orang lain itu
keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.
Pendekatan
teologis ini erat kaitanya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan
yang memandang agama dari segi ajaranya yang pokok dan asli dari tuhan yang di
dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologi
normatif ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlakdari tuhan, tidak ada
kekurangan sedikitpun dan tempat bersikap ideal.
Dari uraian
diatas, pendekatan ini menunjukkan adanya kekurangan, antara lain: bersifat
eklusif, dogmatis, dan tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Kekurangan
pendekatan dapat dilengkapi dengan pendekatan sosiologis.
Sedangkan
kelebihan dari pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan ini
seorang akan memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh
kepada agama yang diyakininya sebagai yang bnar tanpa memandang dan meremehkan
agama lain. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap
fanatis terhadap agama yang dianutnya.[31]
Klasifikasi atau
pembidangan ilmu-ilmu agama islam erat hubungannya dengan perkembangan islam
dalam sejarah. Tidak bisa dipungkiri bahwa ajaran islam mengalami perkembangan
dalam sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai ke zaman kita sekarang, dan
akan terus berkembang lagi pada masa depan.
Ajaran-ajaran
islam tidak turun sekaligus begitu saja dari langit melainkan diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw. Sesuai dengan perkembangan umat
islam pada zaman beliau hidup. Alqur’an datang untuk meluruskan keyakinan
manusia dengan membuat ajaran tauhid. Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang
wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada Nya. Sifat-sifat yang
lebih disifatkan kepadaNya dan tentang sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan
dari padaNya.
9.2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat di artikan sebagagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktis keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Antropologi dalam kaitan ini
sebagai mana dikatakan Dewan Raharjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan
sifatnya partisipatif. Penelitian antropologi yang induktif, yaitu turun
kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya pembebasan
diri kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagai
mana yang dilakukan dibidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang mengunakan
model model matematis.
Karl marx
(1818-1883) sebagai contoh melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat
tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang
biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Lain hanya dengan Max Weber
(1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran protestan dengan
munculnya semangat munculnya kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya
sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri yang modern yang
kapitalistik.
Melalui
pendekatan antropologis sebagaimana disebut di atas, kita melihat bahwa agama
ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Dalam hubungan ini, maka jika kita ingin mengubah pandangan dan
sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan
keagamaanya.
Selanjutnya
melaui pendekatan antropologis ini, kita dapat mlihat agama dalam hubunganya
dengan mekanisme pengorganisasian. Seperti kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz
dalam karyanya The Religion of Java dapat dijadikan contoh Yang baik dalam hal
ini, Geertz melihat adanya klasifikasi social dalam masyarakat muslim di Java,
antara santri, priyayai dan abangan.
Pendekatan
antropologis seperti itu diperlukan adanya, karena banyak berbagai hal yang di
bicarakan agama hanya bias dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan
antropologis. Dalam alquran alkarim, sebagai sumber utama ajaran islam misalnya
kita memperoleh informasi tentang kapan nabi nuh di gunung Arafat, kisah
ashabul kafi yang dapat bertahan dalam gua lebih dari tiga ratus tahun.
Dengan demikian
pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraiyan dan informasi yang dapat
dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang cabangnya.[32]
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme,
yaknipandangan bahwa praktik praktik sosial harus diteliti dalm konteks dan
secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam
masyarakat yang sedang di teliti. Para antropologis
harus melihat agama dan praktik praktik pertanian, kekeluargan dan politik,
magig dan pengobatan “secara bersama-sama maka agama tidak bisa dilihat sebagai
system otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainya.
9.3. Pendekatan
Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia
yang menguasai hidupnya itu. Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi
adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan
sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat
dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara
proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
9.4. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari
kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu,
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha manutkan sebab
dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus
Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas,
hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai
kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan
adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah
berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.Filsafat
mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang
bersifat lahiriah. [33]
9.5. Pendekatan Historis
Sejarah atau
histories adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut.
Melalui
pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idialis kealam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idialis dengan
yang ada dalam alam empiris dan historis.
Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini kuntowijaya telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang yang dalam hal ini islam menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari alquran, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa
pada dasarnya kandungan alquran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah seejarah dan
perumpamaan.
Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak
akan memahami agama keluar dari konteks historisnya karena pemahaman demikiian
itu akan menyesatkan orang yang memahaminya.seseorang yang ingin memahami
alquran secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah
turunya alquran atau kejadian kejadian yang mengiringi turunya alquran yang
selanjutnya disebut sebagai ilmu Asbab an Nuzul (ilmu tentang sebab sebab
turunya ayat ayat alquran) yang pada intinya berisi sejarah turunya ayat
alquran. Dengan ilmu asbabun Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah
yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenan dengan hukum tertentu dan ditujukan
untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.[34]
Dengan
menggunakan pendekatan sejarah ada lima
teori yang bisa digunakan, yaitu:
1. Idealisme approach (seorang
peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan
mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan.)
2. Reductionalist
approach seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta
sejarah dengan penuh keraguan.
3. Diakronik
(penelusuran sejarah dan perkembangan satu fenomena yang sedang diteliti.)
4. Sinkronik (kontekstualisasi
atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti.)
5. Teori( sistem nilai atau
budaya.)
9.6. Pendekatan Kebudayaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan
(usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk
hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan
adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda
seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala
kacakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil
daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin
yang dimilikinya.
9.7. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang
mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut
Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu jiwa agama sebagaimana yang
dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu
agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan
mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang
juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa
seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan ilmu agama akan menemukan
cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
BAB 10
FUNDAMENTALISME
ISLAM, ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA[35]
10.1. Fundamentalisme
Islam
Pada pertengahan
abad masehi,lahirlah paham yang dinamakan fundamentalisme islam yang artinya
suatu gerakan islam yang berdiri di
tengah arus globalisasi ini yang semakin hari semakin berkembang di
indonesia.paham ini didirikan oleh para tokoh islam yang ada di sekitar
masyarakatnya,seperti: amien rais dan teman-temannya.paham ini di lindungi
banyak tokoh islam dan ajaran-ajaran islam yang berdiri awal-awal ini.istilah
fundamentalis dalam islam ini sangat di pengaruhi oleh kelompok islam kontemporer
sejenis Hamas,Hizbullah,al-ikhwal muslimin,dan lain sebagainya.kelompok ini
saling membantu satu sama lain dalam memperjuangkan paham yang mengatas namakan
islam dalam era globalisasi ini.
Ada beberapa
pandangan tentang islam dan fundamentalis menurut berbagai tokoh islam di indonesia,seperti:
- Ibnu rusyd (1126-1198 M),beliau mendefinisikan tentang istilah fundamentalis sebagai aliran islam yang berlandaskan as-sunnah. Beliau mengartikan islam fundamentalis sebagai islam penakwilan atau islam dilalah yang menggunakan kaidah bahasa arab yang memerlukan proses yang berkepanjangan dalam mengartikan paham fundamentalis ini.
- Imam Al-Ghazali (1058_1111 M),beliau menerjemahkan tentang islam fundamentalis sebagai suatu hukum islam yang menggunakan al-hadits dan nash al-qur’an pada suatu ajaran yang di kembangkan olehnya kepada masyarakat di sekitar rumahnya. Beliau mengajarkan tentang islam sebagai tempat berkembangnya ide-ide yang menyangkut paham-paham atau aliran-aliran baru yang semakin hari-semakin meraja lela dalam bangsa yang berlandaskan pancasila ini.
- Imam muhammad abduh (1849_1905 M),beliau mengartikan islam fundamentalis sebagai pokok-pokok ajaran islam dalam memeluk ajaran yang berkembang dimasa ini dan mempunyai jiwa semangat ke-islaman dan tatanan masyarakat islam.
- Imam hasan Al-Banna (1908-1949 M),beliau memerjemahkan tentang islam fundamentalisme sebagai dalil-dalil yang berdasarkan nazhar syar’i (kacamata sar’i) dengan nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal qath’i.
Dalam kriteria ini pandangan berbagai tokoh islam
seperti yang diatas di kemukakan bahwa mereka semua telah mengartikan sebagai
kaidah agama islam yang sudah di kembangkan di setiap daerah.
Gagasan
fundamentalis ini di kemukakan oleh amien rais dalam artian sebagai
berikut:”gerakan-gerakan islam ini bertujuan untuk mensejahterakan agama islam
dalam tatanan ekonomi bangsa indonesia dan dalam norma-norma agama yang sudah
ada dalam masyarakat islam di indonesia”.amien rais juga berkata kepada para tokoh agama lain dalam
kriteria yang sudah ada di atas dalam mensukseskan ajaran/paham fundamentalis
yang ada di indonesia ini bermaksud untuk menjadi aliran yang berlandaskan
ahlus sunnah wal-jama’ah yang sudah ada dalam paham/ajaran seperti :
radikalisme, konservatisme dan paham-paham yang lainnya yang menegakkan ajaran
ini dengan jiwa islam yang menggunakan norma-norma agama yang sudah di tentukan
oleh pemerintah agama islam.
10.2.Islam dan Hak Asasi Manusia
Islam
adalah ajaran pertama yang mangakui hak asasi manusia di tengah kegelapan dan
perbudakan dunia. Islam menjadikan itu sebagai prinsip nilai akidah, yang ia
memuliakan manusia dan memberikan kepadanya kebebasan dan kemuliaan hidup. Maka
ia pun menghormati darah, harga diri, dan harta bendanya. Ia tidak memaksa
orang untuk beragama atau berkeyakinan apapun, namun sekedar menuntun. Ia
menghargai pilihan, pikiran dan pengetahuannya.
Meskipun Islam
tidak menetapkan piagam secara khusus tentang hak-hak asasi manusia, namun Al
Quranul Karim dan Sunah Nabawiyah memberikan fokus terhadap hak-hak asasi, yang
di kalangan umat lain telah dihancurkan. Teks-teks dalil yang membicarakan hal
ini hampir tidak bisa dihitung karena sangat banyak.
Dengan
demikian, seluruh manusia setara adanya. Tidak ada keistimewaan apapun bagi
sebagian atas sebagian yang lain. lelaki tidak istimewa karena kelelakiannya.
Perempuan juga tidak istimewa karena kepermpuanannya. Demikian juga perbedaan
warna kulit, ras, bangsa, kekayaan, dan sederet atribut lainnya, tidak
menyebabkan keistimewaan pada seseorang, kecuali karena ketakwaannya.
Rasulullah
SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu,
tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang ajam, tidak ada keistimewaan
bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada keistimewaan atas kulit merah, tidak
ada keistimewaan bagi orang kulit merah atas kulit hitam, kecuali karena
ketakwaannya. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kalian adalah
yang paling bertakwa.”
BAB 11
PENUTUP
11.1 Kesimpulan
Studi islam merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi
ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan
kepada allah swt. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak
dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai
pendekatan (historis, teologis, antropologis, dll) yang digali dari berbagai
disiplin ilmu (tasawuf, fiqh, filsafat dan kalam). Selama ini islam banyak
dipahami dari segi teologis dan normative.
DAFTAR PUSTAKA
Sahrodi,Jamali.2008.Metodologi
Studi Islam.Bandung: Pustaka Setia
Nata,Abuddin.2000.Metodologi
Studi Islam.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
Muhyar
,Fanani,2008.Metode Studi Islam: Pustaka Pelajar.Yogyakarta
Nurhakim,M.2004.
Metode Studi Islam:Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang
Muhaimin.
2005.Kawasan dan Wawasan Studi iSlam: Kencana.Jakarta
M.Agus
Solahudin dan Agus Suyadi. 2009.Ulumul Hadits:Pustaka Setia.Bandung
Rasjid, Sulaiman. 2002.Fiqh Islam.:
Sinar Baru Algesindo.Bandung
http://www.google.com//
aspek-aspek Metodologi Studi Islam.html
http://www.google.com//
fundamentalisme islam.html
http://www.google.com//
ushul fiqih dan fiqh.html
http://www.wikipedia.com//objek
kajian ilmu fiqh.html
http://www.google.com//
studi pemikiran islam tasawuf.html
http://www.google.com//studi pemikiran
islam filsafat.html
http://www.google.com//
studi hadits.html
http://www.google.com//
studi al-quran.html
[1] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal. ix
[2] M. Nurhakim, Metode
Studi Islam,Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2004, hal.13
[3] Muhaimin,.Kawasan dan Wawasan Studi
iSlam, Jakarta:
Kencana, 2005,hal.3-8
[5] Jamali Sahrodi.,Metodologi Studi Islam.Pustaka
Setia,.Cet 1,.h37
[6] Jamali Sahrodi.Op,.Cit,.h.38
[7] Ibid,.Op.Cit,.h.64
[8] Ibid,. Op.Cit,.h.65
[9] Abuddin Nata. Metodologi Studi
Islam,.Jakarta , PT Raja Grafindo Persada.h.28
[10] Ibid,.h.29
[11] Ibid,.h.32
[12] Ibid,.h.34
[13] ibid
[20] http://www.google.com//
studi al-quran.html
[21] http://www.google.com//
studi hadits.html
[22] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi.,Ulumul
Hadits.2009.,Pustaka Setia,.hlm.210-211
[23] Ibid.,hlm.211-212
[24] Ibid.,hlm.213
[25] Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. 2002.Bandung : Sinar Baru
Algesindo
[26] http://www.google.com//
ushul fiqih dan fiqh.html
[28] http://www.google.com//studi
pemikiran islam filsafat.html
[29] http://www.google.com//
studi pemikiran islam tasawuf.html
[30] Abudin nata, Metodologi studi islam,Jakarta :rajawali pers,
2009, hlm.28
[32]
Ibid.,hlm.35-38.
[33] Ibid.,hlm.43
[34] Jamali Sahrodi.,Metodologi Studi Islam.2008.Pustaka
Setia,.Cet 1,.hlm.120
[35] http://www.google.com//
fundamentalisme islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar