MAKALAH
HADITS
SHAHIH DAN PERMASALAHANNYA
Diajukan
untuk memenuhi dan melengkapi tugas mandiri Pengantar Studi Hadits
Dosen
Pembimbing :
A.Syatory,M.Si.
Disusun Oleh :
Ahmad Hidayat
NIM : 14112140028
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN
)
SYEKH NURJATI CIREBON
NOVEMBER,2011
NOVEMBER,2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits mutawatir memberikan faidah “ yaqin bil qathi” atau positif bahwa Nabi
Muhammad SAW benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan persetujuannya di
hadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak sekali, yang
mustahil mereka sama-sama mengadakan persepakatan untuk berdusta. Oleh karena
itu, sumber-sumbernya sudah meyakinkan akan kebenarannya, maka tidak perlu
diselidiki lebih dalam identitas para perawinya.
Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan
faidah “dhanny” atau prasangka yang
kuat akan penyelidikan yang seksama mengenai identitas para perawinya. Hadits
ahad dibagi menjadi tiga macam, seperti hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dha’if . Dalam makalah ini saya akan
memaparkan hadits shahih dan bagaimana permaslahannya sesuai dengan tugas
mandiri yang saya dapat.
1.2 Latar Belakang
Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar
belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
- Apa definisi dari hadits shahih ?
- Bagaimana klasifikasi suatu hadits shahih ?
- Bagaimana martabat hadits shahih ?
- Bagaimana permasalahan suatu hadits shahih ?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah inintidak
lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut terhadap rumusan
masalah, yaitu :
- Menjelaskan definisi dari hadits shahih.
- Menjelaskan klasifikasi suatu hadits shahih.
- Menjelaskan martabat suatu hadits shahih.
- Menjelaskan permasalahan-permasalahan hadits shahih.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadits Shahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang
benar berasal dari Rasulullah SAW. Sebagaimana para ulama telah sepakati
kebenarannya oleh para ahli hadits, bahwa hadits shahih merupakan hadits yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit rawi lain
yang (juga) adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal
serta tidak cacat (illat).[1]
Shahih
menurut lughat adalah lawan dari “saqim”
artinya sehat lawan sakit, hak lawan bathil. Menurut ahli hadits, hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang-orang adil lagi
cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulallah SAW, bukan hadits
yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam
menerimanya.[2]
Dalam definisi lain, hadits shahih adalah
;
“Hadits
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal ” [3]
2.2 Syarat-Syarat Hadits Shahih
Dari definisi hadits shahih di atas, mengandung lima syarat yang harus
dimiliki oleh suatu hadits agar dapat dinilai sebagai hadits shahih, yaitu :
A. Rawinya Harus Adil
Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Menurut
Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa
yang mendorong untuk bertaqwa, menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan
meninggalkan perbuatan mubah yang menodai muruah
(harga diri), seperti makan sambil berdiri, buang air kecil bukan pada
tempatnya, dan bergurau yang berlebihan.[4]
Menurut Syuhudi Ismail, Kriteria periwayat yang
adil adalah :
- Beragama islam
- Berstatus mukallaf
- Melaksanakan ketentuan agama
- Memelihara muruah (harga diri)
B. Rawinya Bersifat Dhabit
Dhabit
adalah bahwa rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang
diterimanya dengan baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan
kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya
kembali.[5] Persyaratan ini menghendaki agar seorang
perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika menerima dan menyampaikannya.
Kalau
seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan
kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana
saja dikehendakinya, maka orang itu disebut dhabtu
shabri. Sedangkan, kalau apa yang disampaikan itu berdaar pada buku
catatannya, maka ia disebut dhabtu kitab.
Dan rawi yang adil sekaligus dhabit, maka ia disebut tsiqat
C. Sanadnya Bersambung
Sanadnya bersambung maksudnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang
bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[6] Sanad suatu hadits dianggap tidak
bersambung bila terputus salah seorang
atau lebih dari rangkaian para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu
adalah seorang rawi yang dhaif, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
Jadi, suatu sanad hadits dapat dinyatakan
bersambung, apabila :
·
Seluruh
rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
·
Antara
masing-masinng rawi dengan rawi yang lain terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
ketentuan tahamul wa ada al-hadits.[7]
D. Tidak Ber-illat
Maksudnya
ialah bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat haditsnya. Yakni
hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya, meskipun tampak
bahwa hadits itu tidak menunjukan adanya cacat-cacat tersebut. Jadi hadits yang
mengandung cacat itu bukan hadits yang shahih. [8]
E.
Tidak Janggal (Syadz)
Syadz adalah suatu kondisi dimana seorang
rawi berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini
dianggap janggal karena bila ia berada dengan rawi yang lain yang lebih kuat
posisinya, baik dari segi kekuatan daya ingatnya atau hapalannya atau pun
jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan
ia sendiri disebut syadz atau janggal. Dan karena kejanggalannya maka timbulah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.[9]
Sebenarnya kejanggalan suatu hadits itu
akan hilang dengan terpenuhi syarat-syarat sebelumnya, karena para muhaditsin
menganggap bahwa ke-dhabit-an telah mencakup potensi kemampuan rawi yang
berkaitan dengan jumlah hadits yang dikuasainya. Boleh jadi terdapat
kekurangpastian dalam salah satu haditsnya, tanpa harus kehilangan predikat
ke-dhabit-annya sehubungan dengan hadits-hadits yang lain. Kekurangpastian
tersebut hanya mengurangi keshahihan hadits yang dicurigai saja
2.3 Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits
shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih al-dzatih
dan shahih li ghairih, berikut penjelasannya
:
1.
Hadits
Shahih Al-Dzatih
Merupakan hadits shahih yang memenuhi
syarat-syarat secara maksimal dan rawinya berada pada tingkatan pertama.
Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di
atas, akan tetapi tingkatan rawinya berada pada tingkatan kedua, maka hadits
tersebut dinamakan hadits hasan.
2. Hadits Shahih Li Ghairih
Merupakan hadits shahih yang tidak
memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Misalnya, rawinya adil yang tidak
sempurna dhabitnya. Bila jenis ini dikukuhkan oleh jalur lain, hadits tersebut menjadi
hadits li ghairih. Dengan demikian shahih li ghairih adalah hadits yang
keshahihannya disebabkan oleh faktor lain karena tidak memenuhi syarat secara
maksimal. Misalnya hadits hasan yang diriwayatkan melalui beberapa jalur, bisa
naik derajatnya dari hadits hasan menjadi derajat hadits shahih.[10]
2.4 Martabat Hadits Shahih
Mengingat bahwa mengetahui hadits shahih pada sumber-sumber khusus yang
memuat hadits shahih begitu penting, maka para ulama membagi hadits shahih
menjadi beberapa tingkatan.
Hadits
shahih yang paling tinggi tingkatannya adalah yang bersanad ashatul asa’id. Kemudian
beturut-turut sebagai berikut :
1. Hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan
Muslim
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
sendiri
3.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
4. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi lain
yang sejalan dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim
5. Hadits shahih menurut syarat selain
Al-Bukhari dan Muslim, maksudnya bahwa pentakhrij tidak mengambil hadits dari
rawi-rawi atau guru-guru, seperti Al-Bukhari dan Muslim, yang telah beliau
sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan.[11] Akan tetapi hadits yang ditakhrijkan
tersebut dishahihkan oleh imam-imam hadits, seperti hadits Ibnu Khuzauimah,
Shahih Ibnu Hibban, Shahih Al-Hakim.
Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’
mengenai Ashahhul A’sanid. sebagian mengatakan, sebagai berikut :
1. Riwayat ibn syibah az-zuhriy dari salim
ibn abdillah ibn umar dari ibn umar.
2. Sebagian lain mengatakan, ashahhul
asanid adalah riayat sulaiman al-A’masi dari Ibrahim an-nakha’iy dari ‘Al qomah
ibn Qois Abdullah ibn mas’ud.
3. Imam bukhari dan yang lain mengatakan,
sahahhul asnid adalah riwayat imam malaik ibn anas dari nafi’ maula ibn umar
dari ibn umar. Dan karena imam asy-syafi’Iy merupakan orang yang paling utama
yang meriwayatkan dari imam malik, dan imam ahmad merupakan orang yang paling
utama yang meriwayakan dari imam syafi’iy,maka sebagian ulama’ muta’akhirin
cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat imam ahmad dari imam
syafi’I dari imam malik dari nafi’ dari ibn umar ra.inilah yang disebut dengan
silsilah adz- dzahab (rantai emas).
2.5 Karya-Karya yang Hanya Memuat Hadits Shahih
Ada beberapa kitab yang akan saya paparkan
dalam makalah ini, antara lain :
A. Shahih Al-Bukhari
Kitab
ini disusun oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah
Al-Bukhari Al-Jufi (dengan nisbat perwalian). Beliau lahir pada 194 H di Kartank, suatu desa dekat Bukhara dan
wafat di desa yang sama pada 256 H.
Dalam menyusun kitabnya ini,
beliau bermaksud mengungkap fiqh hadits shahih dan menggali berbagai kesimpulan
hukum yang berfaidah. Beliau juga menjadikan kesimpulan tersebut sebagai
judul bab. Oleh karena itu, kadang-kadang beliau membuang seorang atau lebih
dari awal sanad. Al-Bukhari banyak mengulang-ulang hadits di beberapa tempat dalam
kitabnya yang ada hubungannya sesuai hasil penyimpulannya dalam hadits
tersebut.[12]
B. Shahih Muslim
Kitab ini disusun oleh Imam Muslim bin
Al-Hajjaj Al-Naisaburi. Beliau lahir di kota
Naisabur pasa 206 H dan Wafat di kota
yang sama pada 261 H. Beliau adalah seorang imam agung dan
disegani. Beliau sangat antusias terhadap sunnah dan memeliharanya. Beliau
cukup lama berguru kepada dan senantiasa menyertai Al-Bukhari, dan oleh
karenanya beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan
Al-Bukhari.
Kitab Musnal Al-Shahih dan disebut pula
Al-Jami Al-Shahih disusun dengan metode yang berbeda dengan metode yang dipakai
oleh Al-Bukhari dalam menyusunnya kitab shahihnya. Perbedaan metode penyusunan
kitab ini adalah bahwa Muslim tidak bermaksud untuk mengungkap fiqh hadits,
melainkan ia bermaksud untukmengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits
dengan di tempat yang paling sesuai, serta menghimpun jalur-jalur dan
sanad-sanadnya di tempat tersebut. Sedangkan Al-Bukhari memotong-motong suatu
hadits di beberapa tempat dan pada pada setiap tempat ia sebutkan lagi
sanadnya.[13]
C. Shahih Ibnu
Khuzaimah
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin
besar Abu Abdillah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Beliau dikenal sangat teliti, sehingga dalam
menshahihkan suatu hadits beliau menggunakan ungkapan yang paling ringan dalam
sanad.[14]
D. Sahih Ibnu
Hibban
Kitab ini disusun oleh Imam dan Muhanditsin
Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti, beliau seorang murid Ibnu
Khuzaimah. Beliau memberi nama kitabnya dengan Al-Taqasim wa Al-Anwa’. Kitab
ini disusun dengan sistematika tersendiri, tidak berdasarkan bab, juga tidak
berdasarkan musnad, dan sulit untuk di ungkapkan.
Kitab ini telah disusun kembali berdasarkan
bab oleh Al-Amir Ala’uddin Abu Al-Hasan Ali bin Balaban Al-Farisi Al-Hanafi dan
diberi nama Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban.
Kedua
kitab shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban iniberisi hadits shahih menurut
para penyusunnya, hanya saja para ulama tidak sepakat terhadap mereka, bahkan
banyak kritik terhadap hadits mereka, disebabkan mereka terlalu mudah dalam
menentukan dan memutuskan dan menshahihkan suatu hadits.[15]
E. Al – Muktharah
Kitab ini disusun oleh Hafizh Dhiya’uddin Muhammad bin Abdul Wahid
Al-Maqdisi. Dalam kitab Al-Risalat Al-Musthathafah, nama kitab ini disebut Al-Hadits Al-Jiyad Al-Mukhatarah Mimma
Laisa fi Shahihain au Ahaditsina. Kitab ini hanya memuat hadits yang dapat dipakai
sebagai hujjah dan termasuk kitab yang seluruh haditsnya shahih.[16]
Kitab ini disusun berdasarkan Musnad yang diurutkan sesuai urutan huruf mu’jam
dan bukan berdasarkan bab.
2.6 Permasalahan Hadits Shahih
Untuk mengetahui suatu hadits
itu apakah shahih atau tidak, kita bisa melihat dari beberapa syarat yang yang
menerangkan hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits
shahih tidak terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun
dengan sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan
salah satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak
sempurna. Dalam artian tingkat dlabithnya berada pada tingkat kedua
(lihat tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits
itu masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada
sebuah hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun
dan tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka
hadits itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk hadits shahih lighoirihi
kita bisa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan
kriteria-kriteria hadits hasan lidatihi. Apabila hadits itu terdapat
beberapa jalur maka hadist itu akan naik derajatnya menjadi hadits shahih
lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat menyimpulkan apabila ada hadits hasan
akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh beberapa rawi dan melalui beberapa
jalur, maka dapat kita katakan hadits tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
Adapun derajat hadist hasan sama
dengan hadist shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya
berada di bawah hadist shahih. Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin
dan Ushuliyyin (ahli Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap
dijadikan sebagai hujjah dan boleh mengamalkannya.
Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun
(garis keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat
dijadikan hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti
al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis
hadist yang bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits
sahih.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadits shahih adalah hadits yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil,
sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat atau cacat,
dan tidak janggal. Jadi suatu hadits
dapat dikatakan sebagai hadits shahih apabila telah memenuhi lima syarat
tersebut. Hadits shahih terbagi menjadi dua bagian, yaitu shahih
al-dzatih dan shahih li ghairih. Dalam tingkatanya, hadits shahih memiliki
beberapa tingkatan, dimana tingkatan yang paling tinggi adalah asatul asa’id dan seterusnya
berturut-turut hadits yang baik disepakati atau diriwayatkan sendiri oleh
Bukhari dan Muslim. Banyak karya-karya yang memuat shahih shahih seperti shahih
al-bukhri, shahih muslim, shahih ibnu khuzaimah, shahih ibnu hibban, dan
al-mukhtarah.
Permasalahan dapat kita lihat dari syarat-syarat
hadits shahih itu sendiri, seperti rawi hadits yang tidak kuat hapalannya,
tidak adil, terdapat kejanggalan dan cacat yang dapat menurunkan secara
otomatis tingkatan hadits shahih tersebut.
Daftar Pustaka
M.Solahudin dan Agus Suyadi. 2010. Ulumul
Hadits. Bandung :Pustaka Setia
Mujiyo,Drs. 1997. Ulum Al-Hadits 2.
Bandung :PT.Remaja Rosdakarya
Soetari,Endang.
2000. Ilmu Hadits;Kajian Diriwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka
[1] Drs.Mujiyo.Ulum Al-Hadits 2.,PT.Remaja Rosdakarya,.h.2
[2] Ibid,.h.132 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Ulum
Hadits.Pustaka Setia,.h.141
[3] M.Solahudin dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h141
[4] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[5] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.3
[6]‘Itr.Op.Cit,.h.2 dalam M.Solahudin dan Agus Suyadi. Op.Cit,.h.143
[7] Ismail.,Op.Cit,.h.128 dalam Ibid,.Op.Cit,.h.13
[8] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.4
[9] Endang Soetari.,Ilmu Hadits ; Kajian Diriwayah dan
Diriyah.Bandung : Mimbar pustaka,.h.140
[10] M.Solahudin dan Agus Suyadi,.Op.Cit,.h.144
[11] Ibid,.Op.Cit,.h.145
[12] Endang Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.143
[13] Endang Soetari.,Ilmu Hadits….,.Op.Cit,.h.145
[14] Ibid,.Op.Cit,.h.146
[15] Drs.Mujiyo,.Op.Cit,.h.20
[16]
Ibid,.Op.Cit,.h.146-147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar